*Prof. Dr. Zainal Arifin, Lc, MA
Waspada.co.id – Masalah bunga bank memang menjadi perdebatan panjang dalam dunia Islam, dan perbedaan pendapat antara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ulama al-Azhar Mesir menjadi salah satu contoh yang menarik. Dalam usia dua puluh tahun fatwa MUI berjalan (2004-2024) kajian ini masih tetap relevan, karena keberadaan bank konvensional yang bertambah eksis, di samping penguatan bank syariah. 20 tahun perjalanan ini, penulis menegaskan di pendahuluan ini bahwa bank syariah itu syari, dan bank konvensional itu halal. Keduanya berjalan beriringan dalam mengisi kebutuhan ekonomi dalam dua pola perbankkan di Indonesia yang keduanya diridai Allah.
Pendapat MUI
Fatwa MUI Nomor 1 tahun 2004 tentang bunga bank (interest) secara tegas menyatakan bahwa bunga bank konvensional hukumnya haram. Argumentasi utama yang mereka kemukakan adalah: (1) Kemiripan dengan Riba. Bunga bank dianggap memiliki kemiripan dengan riba (nasiah) yang secara eksplisit diharamkan dalam Alquran. Keduanya melibatkan penambahan nilai pada suatu transaksi tanpa adanya usaha atau kerja nyata, karena penangguhan dalam pembayaran, yang dijanjikan sebelumnya. (2) Prinsip Keadilan. Bunga bank dianggap tidak adil karena pihak yang meminjamkan uang akan mendapatkan keuntungan tanpa harus menanggung risiko kerugian, sementara pihak yang meminjam harus membayar tambahan biaya.
Pendapat Al-Azhar
Sebaliknya, M Abduh (w 1905), Sayyid Tantawi (w 2010), salah satu GSA (Grand Syekh al-Azhar) dan pemimpin Majmu al-Buhuts al-Islamiyah (MBI) di al-Azhar, dilanjutkan dengan Syekh Dr. Ali Jumah dan GSA Dr. Ahmed Tayyib yang mengacu pada fatwa resmi MBI al-Azhar 23 Ramadhan 1423 H, bertepatan tanggal 28 November 2002 M berpendapat bahwa bunga bank bukanlah riba yang diharamkan dalam Islam. Para ulama memberikan beberapa argumentasi: (1) Perbedaan Konteks. Beliau berpendapat bahwa konsep riba yang diharamkan dalam Alquran merujuk pada praktik riba yang terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW, yang berbeda dengan sistem perbankan modern yang dibangun [a] atas akad saling rida dan [b] bagi hasil atas usaha bersama, dengan keuntungan penentuan di awal. (2) Fungsinya. Bunga bank, menurut Syekh Mahmud Syaltut (w 1963), memiliki fungsi sebagai imbalan atas titipan, bukan pinjaman yang tidak ada pihak yang dirugikan, bahkan termasuk amal kebaikan yang mendapatkan pahala. (3) Kebutuhan Ekonomi Modern. Al-Azhar mempertimbangkan kebutuhan ekonomi modern yang kompleks dan berpendapat bahwa larangan riba tidak boleh ditafsirkan secara kaku sehingga menghambat perkembangan ekonomi dan profesi umat Islam di dalamnya.
Penulis menegaskan, bayangkan ada jutaan karyawan muslim keluar (resain) dari bank konvensional jika kaku pada keharaman bunga bank konvensional ini. Karena, jika bunga bank konvensional haram, maka pekerjanya memakan harta haram, berdasarkan sabda Nabi Muhammad. Di sisi lain, karena bunga bank adalah haram, apakah kantor bank konvensional itu tempat maksiat yang haram!? Bagi yang menganut haram, menjejakkan kaki ke dalamnya tidak boleh; sedangkan yang membolehkan, tentu saja ia tidak haram dan bukan tempat haram.
Mengapa Terjadi Perbedaan Pendapat?
Perbedaan pendapat antara MUI dan ulama al-Azhar ini disebabkan oleh beberapa faktor: (1) Interpretasi Teks. Kedua personal dan lembaga ini memiliki perbedaan dalam menginterpretasikan ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan riba dan akad muamalah yang saling rida, serta menerapkannya pada konteks modern. (2) Metodologi Pemikiran. Masing-masing personal dan lembaga memiliki metode dan pendekatan yang berbeda dalam melakukan ijtihad (upaya memahami hukum Islam). (3) Kondisi Ekonomi dan Sosial. Kondisi ekonomi dan sosial tidak jauh berbeda antara Indonesia dan Mesir. Yang mengharamkan ulama Mesir (Yusuf al-Qarhawi, Abu Zahrah, Muhammad Ghazali, Syeikh Syarawi) dan yang membolehkan juga ulama Mesir (al-Azhar). MUI Indonesia, di antaranya, merujuk dari pendapat ulama Mesir atau Timur Tengah dalam masalah bunga bank ini riba yang diharamkan. Sedangkan akademisi di Indonesia yang menghalalkan juga merujuk dari Mesir dan Timur Tengah.
Sebagai umat Islam, penulis -sebagaimana GSA- menganjurkan untuk: (1) Terbuka terhadap perbedaan pendapat. Memahami bahwa perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dalam agama. (2) Menghormati pendapat orang lain. Meskipun berbeda pendapat, kita harus saling menghormati dan tidak memaksakan pandangan kita kepada orang lain. (3) Mencari ilmu secara mendalam. Bagi yang ingin memahami lebih dalam mengenai masalah ini, disarankan untuk mempelajari berbagai pendapat ulama dan sumber-sumber hukum Islam yang relevan. (4) Berkonsultasi dengan ulama. Jika masih ragu, sebaiknya berkonsultasi dengan ulama yang terpercaya untuk mendapatkan penjelasan yang lebih mendalam. Ini disampaikan GSA dalam kunjungannya ke Darun Najah.
Penting untuk diingat bahwa: (1) Hukum Islam bersifat universal, namun penerapannya harus disesuaikan dengan kondisi zaman dan tempat. (2) Tujuan utama hukum Islam adalah untuk membawa kemaslahatan bagi umat manusia. (3) Catatan akhir bahwa artikel ini disajikan sebagai bahan diskusi dan tidak dimaksudkan untuk menghakimi salah satu pendapat.
Kesimpulan
Perbedaan pendapat mengenai hukum bunga bank ini menunjukkan bahwa hukum Islam adalah dinamika dan terus berkembang. Setiap ulama dan lembaga memiliki hak untuk mengeluarkan pendapatnya berdasarkan pemahaman dan interpretasinya terhadap sumber-sumber hukum Islam.
*Ketua Umum OIAA I [Organisasi Internasional Alumni al-Azhar Mesir di Indonesia Sumut]
Discussion about this post