MEDAN, Waspada.co.id – Menjelang Pilkada 2024, Kabupaten Batubara kini berada di persimpangan jalan. Tidak hanya oleh hangatnya persaingan politik, tetapi juga oleh ironinya sebuah drama yang memadukan antara keluarga dan kekuasaan, yang perlahan mengubah panggung demokrasi menjadi sebuah panggung tragedi keluarga yang ironi.
Adalah H. Darwis, yang tak lain merupakan paman dari Ketua KPU Batubara, Erwin, maju sebagai calon Bupati, berpotensi membuka jalan bagi konflik kepentingan yang mengintai di balik setiap keputusan yang diambil.
Seperti dalam kisah-kisah tragedi keluarga dalam perebutan kekuasaan, hubungan darah itu menjadi pedang bermata dua, terselip sebuah kontroversi yang meresahkan. Mulai dugaan kecurangan saat pendaftaran Pilkada, di mana H. Darwis dan pasangannya OK Iqbal Prima diduga terlambat 15 menit saat mendaftar di KPUD Batubara.
Namun tetap diterima oleh Ketua KPUD yang kini telah menjadi kekhawatiran seorang tokoh pemuda yang berpikir kritis di Batubara, yakni Nazli Aulia.
“Bagaimana mungkin seorang Ketua KPU Batubara bisa menjaga independensinya, ketika ada ikatan darah yang begitu erat dengan salah satu calon?” ungkap Nazli kepada awak media, Minggu (20/10).
Dalam pernyataannya, Nazli tidak hanya mengingatkan bahayanya nepotisme hubungan darah antara paman dan keponakan, tetapi juga ia mengaku telah menyoroti dugaan benturan kepentingan yang mengarah kepada dugaan perbuatan curang dalam manipulasi adimistrasi yang bisa saja terjadi ketika Ketua KPU Batubara memegang kendali penuh atas proses pendaftaran.
“Bagaimana kita bisa memastikan bahwa keterlambatan paman Ketua KPU ini tidak dimaafkan karena hubungan darah? Apakah aturan berlaku sama bagi semua kandidat, atau ada kelonggaran khusus untuk sebuah drama ironi keluarga Ketua KPU Batubara?” tanya Nazli, menyuarakan keraguan yang mengganggu keadilan Pemilu.
Menurut Nazli, keterlambatan H. Darwis, yang tetap diterima sebagai peserta, menimbulkan pertanyaan serius tentang transparansi dan profesionalitas penyelenggara pemilu.
“Ini bukan sekadar soal waktu, tetapi soal prinsip. Keterlambatan 15 menit mungkin terlihat sepele, tetapi dalam proses yang ketat seperti Pilkada, waktu adalah elemen penting yang menandakan disiplin dan kepatuhan terhadap aturan. Apakah ada calon lain yang akan diberikan perlakuan serupa?” lanjut Nazli, dengan nada yang tegas, namun tetap bernuansa intelektual.
Dia kemudian menghubungkan peristiwa ini dengan potensi dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Ketua KPU yang dikhawatirkan terjadi.
“Ketika kita membiarkan hubungan darah mempengaruhi keputusan-keputusan penting, kita membuka pintu bagi dugaan perbuatan kecurangan yang lebih besar. Ini bukan lagi hanya tentang seorang kandidat yang terlambat, melainkan soal kepercayaan publik yang dipertaruhkan tatkala adanya hubungan darah antara paman dan keponakan. Demokrasi kita tidak boleh dikendalikan oleh ironinya tragedi keluarga dalam kekuasaa,” tegas Nazli, menekankan dugaan kecurangan kecil bisa menjadi bagian dari pola yang lebih besar dalam menggerogoti prinsip demokrasi.
Dengan kecermatan analisis, Nazli mengusulkan langkah preventif; penonaktifan sementara terhadap Erwin sebagai Ketua KPU Batubara.
“Ini bukan sekadar tindakan simbolis, tetapi langkah mendesak untuk memastikan bahwa proses Pilkada tetap berjalan dengan netral dan transparan. Kita tidak bisa membiarkan publik meragukan integritas pemilu hanya karena ada dugaan konflik kepentingan yang begitu mencolok,” ujarnya, menegaskan bahwa penegakan hukum dan etika harus berjalan tanpa kompromi.
Nazli juga mengingatkan pentingnya pengawasan ketat dari lembaga seperti DKPP dan Bawaslu untuk memastikan bahwa setiap tindakan Ketua KPU Batubara tidak dipengaruhi oleh relasi pribadinya.
“Pasal 74 dan 76 PKPU jelas mengatur tentang larangan penyalahgunaan wewenang dan kewajiban untuk transparan jika ada hubungan keluarga dengan peserta pemilu. Namun, apakah Ketua KPU sudah terbuka tentang hal ini? Atau apakah justru keterlambatan pendaftaran ini adalah sinyal pertama dari potensi keberpihakan?” Nazli melontarkan pertanyaan tajam, menuntut kejelasan dari pihak-pihak terkait.
Nazli menyimpulkan dengan sebuah peringatan keras. “Jika kita membiarkan dugaan kecurangan seperti ini berlalu tanpa tindakan, kita sedang merusak fondasi demokrasi kita sendiri. Ini bukan hanya soal satu kandidat atau satu pemilihan, melainkan tentang menjaga kepercayaan rakyat pada sistem yang seharusnya adil dan transparan. Jika Ketua KPU terus berada di posisinya tanpa tindakan tegas, maka keraguan publik akan semakin membesar.”
Dengan kritiknya yang tajam namun berbobot, Nazli Aulia mengajak publik untuk tidak memandang remeh tanda-tanda kecil dari potensi penyalahgunaan wewenang. Karena, dalam demokrasi, keadilan harus ditegakkan tidak hanya melalui hasil akhir, tetapi melalui setiap proses yang dijalani tanpa celah kecurangan dan kepentingan pribadi. (wol/rls/ags/d2)
Discussion about this post