JAKARTA, Waspada.co.id – Langkah Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang melakukan penyitaan lahan sawit ilegal mendapat sorotan Komisi IV DPR. Dewan menilai, keberadaan lahan sawit di kawasan hutan secara historis merupakan kesalahan pemerintahan pada masa lalu, sehingga Satgas PKH semestinya lebih mengedepankan menerapkan sanksi administrasi dibandingkan pidana.
Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo, mengatakan pemerintah seharusnya memahami duduk persoalan 3,5 juta hektare lahan sawit yang ditanam secara ilegal di kawasan hutan. Saat proses merumuskan UU Cipta Kerja, kata dia, ditemukan keterlanjuran lahan sawit yang berada di kawasan hutan yang luasnya 3,5 juta hektare tersebut.
“Bagaimana cara menyelesaikannya? Kan tidak bisa yang seperti itu kita lepas, faktanya juga kita memungut pajak dari mereka, kita dapat feedback dari dana ekspor. Akhirnya kita carikan solusi, dengan melakukan pemutihan terhadap keterlanjuran,” ujar Firman Soebagyo dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (27/3).
Pemutihan yang diusulkan berupa legalisasi lahan sawit yang dikategorikan ilegal. Namun setelah DPR bersama pemerintah melakukan penyisiran data. Terdapat setidaknya tiga pengelompokan data terkait kepemilikan lahan sawit di atas 3,5 juta hektar tanah yang terindikasi ilegal.
Kelompok pertama, yaitu para petani hasil program transmigrasi zaman Orde Baru yang setelah reformasi lahannya menjadi terlantar yang kemudian diberikan pemutihan. Syaratnya luas lahan petani tersebut tidak lebih dari lima hektar. Lebih dari itu dikenakan sanksi administrasi yaitu denda.
Kelompok kedua, pelaku usaha yang sudah memproses izinnya dan mereka boleh menanam sambil menunggu izin Hak Guna Usaha (HGU), tapi tiba-tiba muncul surat keputusan Menteri Kehutanan era Zulkifli Hasan tentang penetapan kawasan hutan. Aturan tersebut lantas memuat lahan sawit yang terlanjur memproses izin sebagai kawasan hutan.
“Nah lahan kelapa sawit yang ditanam oleh perusahaan ini tiba-tiba masuk di kawasan hutan. Entah bagaimana itu ceritanya. Seperti itu kan bukan kesalahan pengusaha, itu adalah sebab akibat dari kebijakan pemerintah. Maka tidak fair bila mereka dikenakan sanksi besar. Karena itu diberikan pengampunan dalam bentuk sanksi denda,” ucap Firman.
Kelompok ketiga adalah perusahaan sawit yang menabrak aturan dan tak memproses izin tanam. Menurut Firman, mereka yang seharusnya dilakukan penindakan dan diberi sanksi berat. “Mereka tahu itu kawasan hutan, tapi mereka tetap memaksa menanam di situ. Nah ini yang harus dikenakan sanksi seberat-beratnya,” kata Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia tersebut.
Sayangnya, tupoksi Satgas PKH lebih kepada penindakan hukum. Sehingga para pelaku usaha sawit mengalami dilema. Padahal sawit merupakan satu dari dua komoditas unggulan RI yang senantiasa memberikan kontribusi optimal bagi penerimaan negara. Karena itu, Firman meminta Kementerian Pertanian untuk bisa memediasi persoalan ini dengan memahami duduk persoalannya.
“Hal seperti ini kan menimbulkan investasi tanpa ada kepastian hukum. Akhirnya apa? Tujuan dari UU Cipta Kerja tidak tercapai. Ini yang saya minta dalam rapat kemarin dengan Kementerian Pertanian agar membuat tim mediasi antar penegak hukum dan dijelaskan duduk persoalannya,” kata Firman.
Berdasar data yang disampaikan oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), terdapat penurunan produksi crude palm oil (CPO) dan palm kernel oil (PKO). Produksi CPO bulan Desember 2024 mencapai 3.876 ribu ton, lebih rendah 10,55 persen dibandingkan dengan produksi bulan November 2024 yang mencapai 4.333 ribu ton. Produksi PKO juga turun menjadi 361 ribu ton dari 412 ribu ton pada November 2024.
Total ekspor bulan Desember 2024 mencapai 2.060 ribu ton atau lebih rendah 21,88 persen dari ekspor bulan November 2023 sebesar 2.637 ribu ton. Nilai ekspor yang dicapai pada 2024 sebesar 27,76 miliar dolar AS atau sekitar Rp440 triliun, yang lebih rendah 8,44 persen dari ekspor tahun 2023 sebesar 30,32 miliar atau sekitar Rp463 triliun. (wol/republika/mrz/d2)
Discussion about this post