JAKARTA, Waspada.co.id – Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda menyoroti tajam kepastian kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen per 1 Januari 2025 yang baru disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Kebijakan ini diambil berdasarkan UU Nomor 7 tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
“Pada Bab IV Pasal 7 ayat (1) huruf (b) yang menyatakan bahwa tarif PPN 12 persen paling lambat 1 Januari 2025,” kata Nailul dalam keterangan yang diterima Inilah.com dikutip di Jakarta, Minggu (17/11).
Menanggapi kenaikan tersebut, Nailul menyampaikan empat poin yang perlu dicermati. Pertama, yaitu ada pasal 7 nomor (3) dan (4) yang memberikan kewenangan pemerintah untuk menetapkan tarif PPN direntang 5 persen hingga 15 persen melalui Peraturan Pemerintah.
“Poin ini sekaligus membantah klaim Sri Mulyani ‘hanya’ mematuhi undang-undang. Masih ada peluang pemerintah untuk membantu masyarakat agar tidak terbebani beban terlalu berat. Pajak karbon harusnya tahun 2022 dilaksanakan, namun sampai saat ini tidak diimplementasikan,” ujar Nailul.
Kedua, kata Nailul, beban terlalu berat ini berasal dari pelemahan daya beli masyarakat. Pertumbuhan konsumsi masyarakat melambat di triwulan III 2024 dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,91 persen (y-o-y). Sedangkan secara q-to-q, konsumsi rumah tangga turun -0,48 persen. Kita mengalami deflasi 5 bulan secara berturut-turut (Mei-September). “Pelaku UMKM mengaku turun omzetnya hingga 60 persen menurut BRI,” ungkapnya.
Ketiga, ujar Nailul, pemerintah memang butuh uang (BU) untuk menambal defisit anggaran yang melebar. Paling mudah bagi pemerintah adalah dengan menaikkan tarif PPN. Namun, ada pos penerimaan lain yang belum tergarap, yaitu penerimaan negara sektor tambang yang masih banyak ilegal. “Hasyim pernah menyampaikan ada Rp300 triliun dari pengemplang pajak, kenapa hal itu tidak didahulukan? Alih-alih menaikkan tarif PPN,” kata dia menegaskan.
Kemudian keempat, jelas Nailul, tarif PPN Indonesia sebesar 11 persen masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya dan negara-negara OECD. “Tarif PPN di Malaysia hanya 8 persen, sedangkan Singapura 9 persen. Tarif PPN paling tinggi adalah Filipina sebesar 12 persen,” ungkap dia.
Atas dasar tersebut, Nailul menekankan, kenaikan tarif PPN di tahun 2025 wajib dibatalkan. “Pemerintah punya peluang untuk membuat tarif PPN yang tidak membebani masyarakat lebih dalam,” tuturnya.
Pemerintah, tambah dia, punya kesempatan meringankan beban masyarakat. Namun, pemerintah justru menambah beban yang dipikul oleh masyarakat. “Pada akhirnya masyarakat yang membantu meringankan masyarakat. Penguasa hanya diam dalam kursi singgasananya,” ujar Nailul, menyesalkan. (wol/inilah/pel/d2)
Discussion about this post