Oleh:
- Regen Erasi Sitindaon, SH
- Dr. Utary Maharany Barus, SH, M.Hum
- Dr. Affila, SH, M.Hum
Waspada.co.id – Persoalan terkait kerusakan lingkungan hidup di Indonesia telah memasuki fase darurat, dari kebakaran hutan dan lahan yang kian marak dan meluas, hingga pencemaran sungai dan tambang ilegal yang merajalela, terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Hal ini tentu sangat berdampak terhadap beberapa aspek kehidupan diantaranya rusaknya ekosistem, terancamnya kesehatan masyarakat, dan kerugian ekonomi yang semakin memprihatinkan. Dalam konteks ini, Pemerintah Negara Republik Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk mengambil langkah nyata dalam memulihkan kondisi lingkungan hidup pasca terjadinya kerusakan lingkungan hidup tersebut.
Kerusakan lingkungan hidup bukanlah sekadar persoalan ekologis semata, persoalan ini menimbulkan dampak berantai yang kompleks. Contoh konkritnya adalah persoalan kebakaran hutan dan lahan yang kerap terjadi setiap tahun, peristiwa ini tidak hanya sekedar menghancurkan hutan tropis, tetapi juga memperparah krisis iklim melalui pelepasan emisi karbon dalam jumlah besar. Pada tahun 2019, kasus kebakaran hutan dan lahan di Indonesia diperkirakan menghasilkan emisi karbon yang melebihi total emisi dari negara maju seperti Jerman dalam setahun.
Dampak kerusakan lingkungan turut dirasakan pada tingkat ekonomi makro. Kebakaran Hutan dan Lahan di tahun 2019 diperkirakan menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp75 triliun. Angka ini mencakup kerusakan aset produktif seperti lahan perkebunan dan infrastruktur, serta biaya kesehatan masyarakat yang terkena gangguan kesehatan serius, terutama infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Tak hanya itu, rusaknya ekosistem membuat masyarakat adat dan komunitas lokal kehilangan akses terhadap sumber daya alam yang menjadi tumpuan hidup mereka.
Tanggung Jawab Negara: Perspektif Hukum
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat telah dijamin dalam konstitusi Indonesia, khususnya Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945. Hak ini bersifat fundamental, setara dengan hak atas pendidikan, kesehatan, dan kehidupan layak. Hak ini dipertegas dalam Pasal 65 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), sebagai turunan dari konstitusi. Dalam pasal tersebut, negara memiliki kewajiban untuk melindungi, mengelola, dan memulihkan lingkungan hidup demi keberlanjutan kehidupan generasi sekarang dan mendatang. Prinsip tanggung jawab negara juga tercermin dalam doktrin polluter pays principle dan state responsibility. Negara tidak hanya berperan sebagai regulator, tetapi juga sebagai fasilitator dan eksekutor dalam menindak pelaku pencemaran atau perusakan lingkungan.
Kasus terkait kerusakan lingkungan hidup juga sering kali menemui jalan buntu dalam tahapan proses penegakan hukum. Penegakan hukum lingkungan di Indonesia masih diwarnai oleh ketimpangan, mulai dari sulitnya membuktikan unsur pelanggaran hingga sanksi yang tidak sebanding dengan dampak kerusakan lingkungan hidup. Dalam hal ini, negara harus memperkuat perannya dengan meningkatkan kapasitas penegak hukum, memperjelas regulasi, dan memastikan transparansi dalam penyelesaian sengketa lingkungan.
Kerusakan lingkungan harus dipandang sebagai bentuk keadaan darurat. Contoh kasus seperti kebakaran hutan, pencemaran laut akibat tumpahan minyak, atau perusakan ekosistem akibat aktivitas tambang menjadi bukti nyata bahwa pengelolaan lingkungan hidup sering kali dikesampingkan dan dipandang sebelah mata. Dalam situasi seperti ini, negara wajib mengambil langkah-langkah pemulihan yang konkret, mulai dari penyelidikan, penegakan hukum terhadap pelaku, hingga upaya rehabilitasi ekosistem.
Tanggung jawab negara tidak hanya terbatas pada regulasi, tetapi juga mencakup tindakan konkret dalam pemulihan kerusakan lingkungan. Kerusakan akibat pencemaran limbah industri atau eksploitasi sumber daya alam yang masif memerlukan langkah pemulihan jangka panjang. Pemulihan ini dapat mencakup reboisasi, pembersihan limbah, hingga pemulihan kawasan konservasi.
Dalam pelaksanaannya, negara dapat memanfaatkan mekanisme dana Pemulihan Lingkungan Hidup sebagaimana sudah diatur dalam UU PPLH. Namun, implementasi dana ini sering kali menghadapi kendala, mulai dari minimnya anggaran hingga lemahnya pengawasan. Oleh karena itu, negara perlu memperkuat kolaborasi dengan sektor swasta dan masyarakat dalam memobilisasi sumber daya untuk pemulihan lingkungan.
Peran Masyarakat dan Akuntabilitas Negara
Selain tanggung jawab negara, masyarakat memiliki peran penting dalam mendorong pemulihan lingkungan serta berhak untuk mengawasi berlangsungnya kebijakan pemerintah terkait lingkungan hidup. Pelibatan masyarakat, baik melalui partisipasi aktif maupun pemantauan independen, dapat menjadi penggerak utama dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas negara. Sebagai tambahan, masyarakat juga dapat mengajukan gugatan hukum melalui mekanisme class action atau citizen lawsuit apabila terjadi pelanggaran lingkungan yang merugikan hak kolektif mereka.
Penutup
Kerusakan lingkungan bukan hanya masalah ekologis, tetapi juga persoalan hukum dan keadilan. Negara memiliki tanggung jawab hukum, moral, dan sosial untuk memulihkan kerusakan lingkungan sebagai bagian dari kewajibannya melindungi hak asasi manusia. Namun, tanggung jawab ini tidak dapat berdiri sendiri. Diperlukan sinergi antara negara, pelaku usaha, dan masyarakat untuk memastikan bahwa lingkungan yang rusak dapat dipulihkan demi keberlanjutan kehidupan di masa depan. Penegakan hukum yang tegas, alokasi anggaran yang memadai, serta pelibatan aktif masyarakat harus menjadi pilar utama dalam menjawab tantangan kerusakan lingkungan hidup di Indonesia.
Memulihkan lingkungan bukan hanya tentang memperbaiki apa yang rusak, tetapi juga memastikan generasi mendatang dapat hidup dalam kondisi yang layak. Pemerintah memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk memastikan hal ini tercapai. “Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang kita, tetapi meminjamnya dari anak cucu kita.” (**)
Penulis adalah Mahasiswa dan Dosen di Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Discussion about this post