MEDAN, Waspada.co.id – Komisi Yudisial (KY) melaporkan adanya peningkatan signifikan dalam jumlah laporan masyarakat terkait dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) selama periode Januari hingga Juli 2024, dengan total 573 laporan yang masuk.
Hal ini mencerminkan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap integritas hakim di Indonesia.
Ketua DPC Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Kota Medan, Hisar Sinaga SH MH, memberikan tanggapannya mengenai fenomena ini.
Menurutnya, peningkatan jumlah laporan adalah indikasi positif dari kesadaran masyarakat akan hak mereka untuk melaporkan dugaan pelanggaran.
“Peningkatan laporan ini adalah tanda bahwa masyarakat semakin sadar akan peran mereka dalam mengawasi integritas peradilan. Ini adalah langkah maju dalam menciptakan sistem peradilan yang lebih transparan dan akuntabel,” ucap Hisar di Medan, Selasa (27/8).
Namun, Sinaga juga menekankan bahwa efektivitas penegakan hukum tidak hanya bergantung pada jumlah laporan yang diterima, tetapi juga pada bagaimana Komisi Yudisial merespons dan menangani laporan-laporan tersebut.
“Jumlah laporan yang tinggi hanya bermanfaat jika disertai dengan tindakan yang efektif dari KY dalam menangani setiap laporan. Respons yang cepat dan penyelidikan yang mendalam adalah kunci untuk menjaga integritas sistem peradilan,” lanjutnya.
Sinaga menyoroti perlunya dukungan dari berbagai elemen dalam sistem peradilan untuk menciptakan akuntabilitas. Ia menekankan pentingnya kualitas aparat penegak hukum dan peran media massa dalam mengawasi dan melaporkan proses peradilan.
Menurut Sinaga, peran media sebagai penghubung antara KY dan masyarakat sangat penting untuk menciptakan sinergi dalam penegakan hukum.
Dalam konteks ini, Sinaga mengkritik beberapa kasus di Pengadilan Negeri (PN) Medan yang dianggapnya tidak mencerminkan rasa keadilan, salah satunya adalah kasus Mantan Kadinkes Alwi Hasibuan. Menurutnya pada kasus itu, KY harus turun tanpa harus ada laporan terlebih dahulu.
Karena kejanggalan dalam penanganan kasus itu adalah, Penuntut Umum memakai tenaga audit kerugian negara dari Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah.
Padahal berdasarkan UU, instansi yang berwenang menyatakan dan memeriksa adanya kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.
“Tapi sayangnya majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara itu tidak mengesampingkan itu. Majelis sepakat ada perbuatan pidana dengan kerugian yang ditimbulkan berdasarkan hasil audit oleh orang yang berdasarkan UU tidak berkompeten mengaudit,” tegasnya.
“Kasus ini menunjukkan adanya kekurangan dalam penerapan keadilan. Masyarakat berhak mendapatkan proses peradilan yang adil dan transparan, dan setiap keputusan harus didasarkan pada bukti yang kuat. Jadi jangan lihat apabila hakim membebaskan saja yang menjadi sorotan, hakim yang menghukum tanpa bukti juga harus menjadi sorotan juga bagi masyarakat,” lanjut dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, Anggota Komisi Yudisial Nurdjanah dalam kegiatan diskusi bertajuk Refleksi Penegakan Integritas Hakim Untuk Peradilan Bersih di Purwokerto, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu dalam rangka Refleksi 19 tahun lahirnya KY menyatakan komitmennya untuk terus meningkatkan integritas hakim dan berkolaborasi dengan media massa untuk memastikan penegakan hukum yang transparan dan akuntabel.
KY percaya bahwa dengan dukungan masyarakat dan media, sistem peradilan dapat menjadi lebih bersih dan efektif dalam menegakkan hukum. (wol/ryp/d1)
Editor AGUS UTAMA
Discussion about this post