JAKARTA, Waspada.co.id – Aparat penegak hukum dalam hal ini Kejaksaan Agung membuat pers rilis tentang pangkapan 9 tersangka dalam kasus korupsi di Pertamina dengan kerugian negara ditaksir Rp 193 triliun pada tahun 2023 dengan rincian mulai dari kemahalan karena yang BBM yang datang lebih rendah dari yang disebut pada dokumen pembelian, selisih impor crude dan crude dalam negeri karena tidak mengolah minyak dalam negeri.
Kemudian kemahalan transportasi dan juga biaya kompensasi dan subsidi ditambah dengan isu BBM oplosan yang memberikan imej pertalite dijual sebagai Pertamax.
“Berkembang berbagai pendapat di masyarakat, melalui berbagai media sosial, yang hampir semuanya mencaci pelaku atau tersangka dan juga Pertamina sebagai institusi. Beberapa hari media dipenuhi dengan berita, tanggapan berbagai pendapat melalui semua media social, mulai dari kalangan bawah sampai pakar memberikan tanggapan,” jelas mantan Direktur Kilang Pertamina yang merangkap seebagai Ahli JRP Law Firm, Suroso A, kepada CERI dalam rilis yang diterima wartawan, Selasa (18/3).
Dikatakan, Pertamina menguasai hampir 95 % pasar BBM dalam negeri, bahkan di beberapa daerah hanya ada SPBU atau SPBN (nelayan) Pertamina, sehingga konsumen tidak ada pilihan, sehingga isu kualitas bagi konsumen tidak terlalu terasa bagi Pertamina. Namun di kota-kota besar banyak SPBU dengan merek lain, bisa dibayangkan jika separuh konsumen saja beralih maka akan terjadi antrian yang panjang di merek lain karena jumlahnya sedikit.
“Dapat dikatakan bahwa tidak ada pilihan bagi konsumen untuk segera beralih ke merek lain. Berbeda dengan saat dibukanya pasar Pelumas, maka pangsa pasar Pertamina yang semula 100 % dengan cepat turun ke level di bawah 50%. Momentum saat ini memang tepat bagi merek lain untuk mengembangkan pasar. Dampak pasar akan terasa dalam jangka Panjang,” terangnya.
Apa dampak hukum dari pernyataan Kejaksaan Agung terhadap korporasi PT Pertamina?
Pertama dengan besarnya nilai kerugian negara, dan ada yang mengkalikan lima karena disebutkan sudah berlangsung dari 2018 sampai 2023, sehingga total kerugian bisa mencapai Rp 1000 triliun, suatu angka yang besar, dibandingkan keuntungan PT Pertamina yang lalu sebesar Rp 21 triliun.
“Hal ini akan menjadi pertanyaan terutama dari pemegang Bond, dan investor luar negeri. Tingkat kepercayaan investor atau pun lender akan menurun, akibatnya akan menjadi lebih sulit bagi Pertamina untuk mencari dukungan pendanaan bagi kegiatan operasi maupun pengembangan usaha Pertamina, dan mampukah Pertamina menghadapi persoalan hukum yang akan muncul nantinya,” tanyanya.
Kedua, resiko hukum atas dugaan kecurangan yang dilakukan pejabat Pertamina selama lima tahun, jika dalam persidangan nanti dapat dibuktikan adanya kecurangan, maka pihak konsumen dapat melakukan class action menuntut kerugian. Bahkan kecurangan yang seperti disebutkan yaitu pemalsuan barang dapat berakibat penutupan perusahaan hak konsumen seperti dalam pasal 4 huruf g, UU 8 /1999.
“Kewajiban pelaku usaha pasal 7, perbuatan yang dilarang pelaku usaha di pasal 8, pelaku usaha wajib memberikan ganti rugi, konsumen dapat melakukan gugatan baik perseorangan maupun kelompok diatur dalam pasal 46. Selain itu sanksi terhadap pelaku usaha dapat berupa ganti rugi maupun sanksi pidana,” jelasnya.
Diakui, investor tentu akan menakar berbagai kemungkinan resiko yang akan dihadapi Pertamina. Pertamina memerlukan dukungan dari masyarakat pendanaan global baik perbankan atau investor, seperti pencarian pendanaan untuk pengembangan usaha melalui pengeluaran Bond dan obligasi, tentu hal ini akan melihat prospek usaha Pertamina ke depan.
“Selain itu dalam pembelian material minyak mentah, atau BBM Pertamina memerlukan pembukaan LC. Di mana nama dan kredibiltas Pertamina menjadi tolok ukur untuk pembiayaan pembukaan LC,” tegasnya.
Untuk mengembalikan pepercayaan pasar keuangan, kata Suroso, terpulang seberapa usaha Pertamina dalam meyakinkan investor atau pemegang Bond. Namun yang jelas keputusan pengadilan nantinya yang akan menjadi patokan akhir, dan ini masih memerlukan waktu kurang lebih satu sampai dua tahun ke depan.
“Selama menunggu kepastian hukum, yaitu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Pertamina bersama permerintah harus berusaha meyakinkan dunia usaha bahwa Pertamina akan baik-baik saja, sehingga roda bisnis tetap akan berjalan lancar dalam mengemban tugas pemenuhan BBM diseluruh Indonesia,” jelasnya.
Dijelaskan, mekanisme pasar bisa jadi belum dipahami betul oleh semua orang, bagaimana membeli barang yang tidak lazim atau tidak ada dipasar (taylor made) seperti RON 90. Padahal yang ada di pasar hanya RON 92 untuk penyerahan tiga bulan ke depan.
“Bagaiman memilih minyak mentah baik kualitas dan harga untuk tiga bulan ke depan. Padahal pemilihan minyak mentah ini tidak terlepas dari prediksi persediaan yang ada, belum tentu mengolah sendiri lebih menguntungkan dari membeli produk jadi (policy make or buy). saya yakin ini semua akan memberi beban psikologis tersendiri bagi pejabat yang mengelola pembelian BBM dan minyak mentah,” katanya lagi.
Untuk itu, harus segera dijelaskan dan diterangkan dengan sejelas-jelasnya, serta harus segera diperbarui tatakelolanya. Waktu terus berjalan dan pengadaan tidak boleh terlambat, begitu terlambat resiko akan menjadi besar, posisi tawar pembeli makin lemah karena terdesak waktu, dan justru akan memberikan peluang bagi pasar untuk menekan pembeli dan mencari keuntungan yang berlebih. Mekanisme pasar memang kejam tidak mengenal saudara atau teman.
“Akan terjadi tumpukan kerugian jika tidak melakukan pembelian tepat pada waktunya, terlambat beli artinya akan beli lebih mahal, takut beli mahal mak akan kekurangan pasokan, jika terjadi maka akan beli lebih mahal lagi. Pernah terjadi kelangkan saat tahun 2003, yang akhirnya pemerintah turun tangan dengan meminta bantuan Malaysia untuk memasok BBM. Semoga tidak terjadi kelangkaan karena keterlambatan impor,” tutupnya. (wol/rls/red)
Discussion about this post