Oleh:
Shohibul Anshor Siregar
Waspada.co.id – Sabtu malam, pekan lalu seorang jurnalis bertanya, “Baru 10 Bulan Menjabat, Pj Gubernur Sumut Hassanudin Dirotasi Jadi Pj Gubernur NTB. Apa tanggapan Anda?”
“Meskipun kinerja para Pj Wali Kota, Pj Bupati dan Pj Gubernur dievaluasi tiga bulan sekali oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, namun sebagai Kepala Negara, Joko Widodo melakukan evaluasi setiap hari.” Inilah isi berita yang mengutip ucapan Joko Widodo dari Istana Negara, Jakarta, Senin (30/10) lalu.
Saat itu adalah penantian Indonesia yang semakin dekat dengan hari H pelaksanaan Pemilu 2024. Karena itu tak begitu penting untuk mengetahui apakah rotasi ini sebagai hasil kajian triwulanan Tito Karnavian atau keputusan berdasarkan evaluasi harian Joko Widodo.
Tito Karnavian yang mantan Kepala Kepolisian RI itu pastilah hanya akan sekadar berupaya menyesuaikan tari dengan gendang dan mengesankan kepatutan atas hal-hal yang mungkin dianggap aneh dan diprotes oleh publik.
Tetapi yang jelas Hassanudin kena hukuman.
Perwira tinggi ini pastilah sangat menyadari dirinya di-downgrade. Sumatera Utara dengan luas wilayah 72.460,744 km2 berpenduduk 15 juta jiwa lebih, dengan 33 Kabupaten dan Kota, 455 Kecamatan, 6.113 Desa/Kelurahan, dan dengan APBD Rp14.634.905.519.358.
Sedangkan luas wilayah NTB hanya 19.675, 89 km2 dengan 5.560.287 jiwa penduduk, hanya 10 Kabupaten, 117 Kecamatan, 1166 Keluarahan/Desa dan dengan APBD Rp6.231.338.970.389.
Di balik rotasi ini rakyat tak mungkin tak berspekulasi. Akan ada yang mengatakan tindakan Joko Widodo ini pasti terkait dengan langkah pengamanan menantunya, Bobby Nasution, untuk Pilgubsu.
Memang, jika dihubungkan dengan pengalaman pemilu 2024 (khususnya rivalitas pilpres yang anak sulungnya, Gibran, adalah salah seorang calon wakil), dan Pilkada November 2024 (yang anak bungsunya, Kaesang, akan ikut mencalon di Jakarta), maka spekulasi seperti itu, atau bahkan yang lebih dahsyat dari itu, akan terasa menjadi sangat normal dalam trend politik Indonesia era Joko Widodo akhir yang dituding ramah dinasti ini.
Namun bagi banyak orang di Indonesia, kini, mau dirotasi tiap bulan pun statusnya tetap saja, sangat kurang indah buat demokrasi. Kepala Daerah dipejabatkan dalam kurun waktu yang lama, yang seyogyanya jabatan itu diisi oleh hasil elektorasi, amatlah tidak elok bagi demokrasi substantif.
Tetapi Joko Widodo memilih langkah politik itu. DPR malah mendukungnya. Sumbangsih lembaga negara yang seyogyanya bertugas mengawasi Presiden dan seluruh jajaran eksekutif ini sangat besar kepada keluarga Joko Widodo.
Spekulasi yang muncul umumnya terkait dengan bayangan keburukan dinasti atau familisme dalam politik yang akan melanda. Itu terbukti kuat dari nada pertanyaan yang diajukan oleh jurnalis. Dinasti atau familisme dalam politik, keluarga atau kerabat dekat didorong untuk mendominasi posisi kekuasaan, terus-menerus menuai kecaman.
Mengapa? Pertama, itu memang sangat mencederai demokrasi dan kesetaraan. Langkah ini membatasi peluang politik secara tajam. Dominasi keluarga tertentu menutup akses dan kesempatan bagi individu lain yang kompeten dan berpotensi untuk berkontribusi dalam politik.
Juga memperkuat oligarki. Keluhan atas oligarki selama ini, yang menentukan penyimpangan arah Indonesia dari cita-cita, amat dikhawatirkan diperkokoh oleh dinasti politik yang diakui selalu berpotensi memperkuat kekuasaan segelintir orang yang memicu pengabadian kesenjangan, dan menghambat sirkulasi elit politik.
Tak ayal, langkah ini menimbulkan penumbuhan nilai pewajaran diskriminasi. Sistem ini diskriminatif, karena mempersembahkan keuntungan tidak adil bagi keluarga tertentu yang dianggap harus menjadi kewajiban nasional untuk beroleh status istimewa dibandingkan rakyat biasa.
Sistem rekrutmen yang tidak adil yang mempromosikan nilai-nilai yang mengawetkan akses privileged memberi jaminan atas keluarga penguasa untuk akses istimewa ke sumber daya politik dan keuangan, memberi mereka jaminan keuntungan besar termasuk dalam pencalonan dan kampanye.
Jaringan politik yang kuat adalah target utama prioritas kedinastian sebelum melakukan yang lain. Koneksi dan pengaruh keluarga yang berkuasa menjamin peluang dan akses yang tidak tersedia bagi individu lain.
Lemahnya meritokrasi menjadi hal biasa, karena sistem dinasti mengabaikan meritokrasi, untuk pencalonan dan pemilihan yang didasarkan pada hubungan keluarga, bukan pada kompetensi dan kualifikasi.
Kedua, meningkatkan risiko korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Akan terjadi secara terang-terangan apa yang disebut sebagai konflik kepentingan. Keluarga yang berkuasa memanfaatkan posisinya untuk keuntungan pribadi atau kelompok dengan tanpa kendala yang berarti.
Langkah ini juga memosisikan lemahnya akuntabilitas sebagai kewajaran belaka dan yang tak perlu dikritik. Rasa aman dalam iklim nepotistik mendorong perilaku koruptif dan penyalahgunaan kekuasaan, karena keluarga penguasa merasa kebal hukum.
Sambil menurunkan kualitas tata kelola pemerintahan, praktik ini melemahkan meritokrasi dan profesionalitas. Tradisi dinasti menghambat transparansi dan akuntabilitas, sehingga berakibat pada penurunan kualitas tata kelola pemerintahan.
Proses promosi politik berdasarkan hubungan, bukan kompetensi sehat, meski secara formal didisain seperti kompetisi demokratis, namun secara pasti akan memaksa dinasti politik mengabaikan meritokrasi dan profesionalisme. Posisi dan jabatan diberikan berdasarkan hubungan keluarga, bukan berdasarkan kompetensi dan kualifikasi.
Akibat lanjutannya ialah menurunkan kualitas kinerja. Promosi politik non-meritokratis berakibat penurunan kualitas kinerja dan efektivitas birokrasi. Selain itu akan meredam semangat inovasi. Sistem dinasti memadamkan semangat inovasi dan kreativitas dalam pemerintahan, karena menghambat munculnya ide-ide baru dan talenta-talenta muda.
Ketiga, memperparah ketidakpercayaan publik terhadap demokrasi karena akan mengikis kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi dan pemerintahan yang adil.
Munculnya apatisme politik terkait dengan fakta bahwa masyarakat yang merasa tidak diwakili secara adil dalam sistem politik menjadi apatis dan tidak mau berpartisipasi dalam proses demokrasi. Karena itu pola kuno ini potensil memicu konflik sosial.
Ketidakpuasan publik terhadap dinasti politik selalu menjadi pemicu ketegangan dan konflik sosial. Dalam beberapa contoh mungkin sejarah menunjukkan bahwa figur dari keluarga politik memiliki kompetensi dan dedikasi.
Namun, secara umum, keburukan dinasti politik jauh lebih besar dibandingkan manfaatnya. Tentulah konteks sistem dan waktu harus diperiksa dalam sejarah seputar perbandingan ini agar tak gegabah membuat kesimpulan apologetik.
Dominasi keluarga tertentu dalam politik melalui dinasti atau familiisme membatasi peluang politik bagi individu lain yang kompeten dan berpotensi untuk memberikan kontribusi positif. Budaya politik eksklusif yang disuburkan akhirnya akrab dengan stigma dan diskriminasi.
Individu di luar dinasti politik menghadapi stigma dan diskriminasi, mereka tidak memiliki peluang yang sama untuk maju dalam politik.
Lemahnya partisipasi politik menjadi keseharian karena masyarakat yang merasa tidak terwakili dalam sistem politik dinasti cenderung apatis dan tidak mau berpartisipasi dalam pemilu atau kegiatan politik lainnya. Matinya semangat demokrasi tidak akan pernah beroleh perhatian karena dominasi dinasti politik memadamkan semangat demokrasi dan menghambat partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Keanekaragaman pandangan akan dipantangkan, karena dominasi keluarga menyebabkan kurangnya pluralitas ide dan perspektif dalam pengambilan keputusan politik yang memaksakan penurunan kualitas kebijakan. Kebijakan sangat mungkin tidak mewakili kepentingan terbaik rakyat secara keseluruhan, tetapi lebih condong pada kepentingan keluarga penguasa.
Stagnasi dan kurangnya Inovasi dalam sistem dinasti menghambat perubahan positif dalam politik, karena terpaku pada pola dan tradisi yang sudah ada.
Kepada Hassanuddin yang akan pergi dan penggantinya di Sumatera Utara, patut dipesankan, pertama, berusahalah menjaga dan meningkatkan integritas pemilu (pilkada) yang potensil menyimpang dari koridor sebagaimana terjadi dalam pemilu 2024. Ajak semua kekuatan masyarakat sipil membangun demokrasi.
Tidak ada orang yang akan datang dari Eropa, Afrika dan Amerika untuk memperbaiki demokrasi Indonesia. Kitalah yang harus bekerja jujur untuk itu. Tuhan pun tidak akan memberi restu perubahan jika inisiatif dan prakarsa yang kuat dan benar tidak dilakukan.
Kedua, detik pertama menduduki kursi kepejabatan di ruang kantor Gubernur itu, berusalah membandingkan kemewahannya dengan kondisi rakyat biasa di luar. Berimajinasilah sedikit, misalnya, dengan berbisik dalam hati jika kemewahan kantor ini yang menjadi ukuran, maka seyogyanya rakyat di luar sana mestinya beroleh penghasilan tetap tak kurang dari Rp 15 juta setiap bulan, dan itu adalah hak normatif yang ditegaskan oleh konstitusi.
Ketiga, tegaskan dalam bentuk janji di hadapan alkhaliq, semua kemudahan dan mandat ini seyogynya adalah untuk maslahat rakyat. Mengingkari kepentingan rakyat sebagai determinan utama adalah sebuah pengkhianatan kepada bangsa dan negara. Keempat, buatlah daftar legasi yang akan diwariskan sehingga rakyat mencatat sesuatu yang amat penting untuk sejarah dan masa depan mereka. (**)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (nBASIS)
Discussion about this post