Penulis: Prof. Zainal Arifin, MA
Pendahuluan
Waspada.co.id – Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) mengeluarkan surat keputusan ketua No. 13 tanggal 15 Januari 2025 mengenai nisab zakat pendapatan dan jasa. Dalam keputusan tersebut, BAZNAS menetapkan: pertama, Nisab zakat pendapatan dan jasa tahun 2025 senilai 85 (delapan puluh lima) gram emas atau setara dengan Rp 85.685.972,00 (delapan puluh lima juta enam ratus delapan puluh lima ribu sembilan ratus tujuh puluh dua rupiah)/tahun atau Rp7.140.498,00 (tujuh juta seratus empat puluh ribu empat ratus sembilan puluh delapan rupiah)/bulan. Kedua, Kadar zakat pendapatan dan jasa senilai 2,5% (dua koma lima per seratus). Ketiga, Objek zakat pendapatan dan jasa adalah pendapatan dan jasa bruto.
Nisab zakat pendapatan bulanan sebesar Rp7.150.000, yang dihitung berdasarkan standar 85 gram emas dikalikan harga emas saat itu, lalu dibagi 12. Namun, terdapat perbedaan signifikan antara nisab yang ditetapkan BAZNAS dengan perhitungan berdasarkan harga emas aktual pada Januari dan April 2025, yang berkisar antara Rp1.600.000 hingga Rp1.800.000 per gram. Ambil nilai tengah Rp 1.700.000. Jika dikalikan hasilnya Rp 144.500.000. Artinya ini penghasilan minimal individu pertahun. Atau pendapatan perbulan yang kena zakat mal (:12) Rp.12.050.000, bukan Rp 7.150.000 seperti keputusan ketua BAZNAS.
Kadar minimal yang dipotong perbulan 2,5% x12.050.000= Rp 301.250. Pemotongan di bawah ini tidak boleh dilakukan karena tidak masuk kategori masuk nisab yang diwajibkan zakat. Atau zakat pertahunnya Rp.3.615.000. Potongan di bawah ini dinilai sebagai sedekah atau infak.
Dasar Nisab: Emas atau Beras?
Terdapat dugaan bahwa nisab Rp7.150.000 per bulan yang ditetapkan BAZNAS didasarkan pada nisab beras, bukan emas. Jika harga beras Rp. 12.000.000 x 612 kg = Rp. 7.344.000. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai validitas penggunaan beras sebagai standar nisab zakat penghasilan, mengingat mayoritas ulama menetapkan emas sebagai standar.
BAZNAS sendiri menegaskan bahwa perhitungan itu berdasarkan emas. Jika menggunakan standar emas, nisab zakat penghasilan seharusnya berada di kisaran Rp12.000.000 per bulan atau Rp240.000.000 per tahun.
Perhitungan Nisab: Neto bukan Bruto
BAZNAS mengacu pada penghasilan bruto (sebelum dikurangi), bukan neto (setelah dikurangi utang dan pengeluaran). Mengacu pada standar emas dan praktik zakat perdagangan, nisab seharusnya dihitung berdasarkan penghasilan neto. Karena emas yang dipakai harian tidak dikenakan zakat, begitu juga zakat perdagangan hanya terkait pada untung bersih atau neto.
Jika menggunakan perhitungan neto, maka sangat mungkin nisab zakat penghasilan brutonya berada diangka Rp 36.000.000, yang merupakan hasil dari perhitungan setelah dikurangi 2/3 pengeluaran bulanan (12juta) dan utang (12juta).
Kadar Zakat: 2,5%, 5%, atau 10%?
Jika nisab didasarkan pada beras, muncul pertanyaan mengenai kadar zakat yang harus dikeluarkan. Apakah mengikuti standar zakat hasil bumi (5% atau 10%) atau tetap 2,5% seperti zakat penghasilan pada umumnya? BAZNAS menetapkan kadar zakat 2,5%. Jika nisab berdasarkan emas dan kadar zakat 2,5% maka hal ini paralel dan sejalan. Namun jika berdasarkan beras maka seharusnya kadar zakatnya 5% atau 10%. Pendapat lain mengatakan talfiq dibolehkan dalam hal ini. Artinya, standarnya beras, kadarnya emas. Pendapat lain mengatakan tidak dibolehkan, karena paket yang berbeda. Bagaimana pula jika zakat mal standarnya zakat fitrah!?
Sasaran Zakat: Pegawai Negeri
Muncul pertanyaan mengenai target BAZNAS yang cenderung menyasar pegawai negeri dengan penghasilan pas-pasan dan beban utang. Banyak pegawai negeri dengan gaji Rp12.000.000 per bulan hanya memiliki simpanan Rp4.000.000 (1/3x12juta) setelah dikurangi 2/3 untuk pengeluaran dan utang, jauh di bawah standar nisab emas. Apalagi jika menggunakan standar nisab yang ditetapkan BAZNAS yang tersisa hanya Rp. 2.500.000.
Kesimpulan
Penetapan nisab zakat penghasilan oleh BAZNAS tahun 2025 menimbulkan polemik dan pertanyaan mengenai dasar perhitungan, standar yang digunakan, dan dampaknya terhadap muzaki, terutama pegawai negeri. Polemik ini terjadi di kalangan akademis kampus yang dipotong zakatnya oleh UPZ, sementara mereka berada pada posisi mengutang, kadar potongan Rp. 100.000 hingga 290.000 (di bawah nisab).
Terdapat inkonsistensi antara nisab yang ditetapkan BAZNAS dengan standar emas yang diakui secara luas. Perlu adanya transparansi dan dialog lebih lanjut antara BAZNAS, ulama, dan masyarakat untuk mencapai kesepakatan yang adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Zakat itu kesadaran bukan paksaan, walau boleh dipaksa. Tapi memaksa pendapat yang berbeda adalah tindakan yang kurang bijaksana. Seperti penetapan 1 Ramadhan, mau beda atau sama asal ada rujukan ya diperbolehkan, dan negara tidak bisa memaksa. Hal yang sama dengan zakat. Jika BAZNAS atau UPZ pakai satu sistem (zakat profesi, beras dan bruto), maka izinkan muzaki menggunakan sistem yang sudah makruf (zakat mal, emas dan neto). UPZ dan BAZNAS perlu menghormati keputusan muzaki. Agama itu mudah maka permudah
Rekomendasi
Pertama, Evaluasi dan Revisi Nisab: BAZNAS perlu mengevaluasi kembali penetapan nisab zakat penghasilan dan merevisinya berdasarkan standar emas yang berlaku, dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat. Kedua, Klarifikasi dan Sosialisasi: BAZNAS perlu memberikan klarifikasi mengenai dasar perhitungan nisab, standar yang digunakan, dan tata cara penghitungan zakat penghasilan secara transparan dan komprehensif.
Ketiga, Dialog dan Musyawarah: BAZNAS perlu membuka dialog dan musyawarah dengan ulama, pakar ekonomi syariah, dan perwakilan masyarakat untuk mencapai kesepakatan yang adil dan maslahat. Keempat, Pendistribusian Zakat yang Bijaksana: Dalam pendistribusian zakat, BAZNAS perlu memperhatikan prinsip keadilan dan prioritas, dengan memberikan perhatian khusus kepada fakir miskin, tetangga, dan kerabat yang membutuhkan yang berada di dekat muzaki, seperti yang diwasiatkan oleh Prof. Abdullah Syah. “Bagilah penyaluran itu kepada tiga bagian. Kepada (1) BAZNAS atau UPZ, (2) kepada jiran tetangga dan keluarga dekat atau kerabat dan (3) kepada proposal yang masuk untuk pembangunan masjid, madrasah, mahasiswa menuntut ilmu. Jangan semua diserahkan ke BAZNAS, karena jiran tetangga yang susah secara finansial terkadang tidak terjangkau oleh UPZ atau BAZNAS.” Artinya, jika UPZ atau BAZNAS memotong gaji pegawai negeri sebaiknya dipotong dalam jumlah 1% dari penghasilan yang ada.
Kelima, Penetapan Kadar yang sesuai: Jika tetap menggunakan standar nisab beras, maka perlu di tetapkan kadar zakat yang sesuai dengan pengambilan keputusan dari para Ulama. Keenam, Mempertimbangkan Kondisi Muzaki: Dalam penetapan kebijakan zakat, BAZNAS perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi dan beban hidup muzaki, terutama pegawai negeri dengan penghasilan pas-pasan. Dan ketujuh, Penyaluran yang proporsional: Dalam pengambilan zakat dari pegawai negeri, ada baiknya jika pemotongan gaji yang diambil sebagai zakat diambil dengan jumlah 1% dari penghasilan. Agar muzaki bisa membantu masyarakat sekitar yang kurang mampu dan proposal yang masuk.
*Ketum [OIAAISU] Alumni Azhar Internasional di Indonesia Sumut
Discussion about this post