Oleh: Prof. Dr. Zainal Arifin, MA
Waspada.co.id – Pada hari Selasa, tanggal 9 Juli 2024, Syekh al-Azhar Mesir, Prof. Dr. Ahmed Tayyeb menyampaikan moderasi ilmiah dengan tema “Meneguhkan Moderasi Beragama Untuk membangun Toleransi dan Harmoni.”
Dalam orasi ilmiah tertulis yang dibacakan Syekh Azhar, Prof. Dr. Ahmed Tayyeb, penulis menemukan keprihatinan syekh atas muslim dan kerja keras menyampaikan pesan moderasi dan persatuan untuk mewujudkan Islam sebagai rahmat. Hal ini ditegaskan Tayyeb dengan ucapan: “Kekayaan Islam dalam pemikiran, berbanding terbalik dengan kenyataan umat Islam yang menyedihkan saat ini.”
Keprihatinan ini bersumber dari tiga kesalahan pemahaman yang sengaja ditebar: pertama, tuduhan Islam tidak punya peran; kedua, perpecahan yang dibuat pihak luar: dan ketiga, kesalah-pahaman atas Alquran yang hanya tertumpu pada hafalan dan bacaan, bukan sebagai kitab suci petunjuk menuju kemajuan dan kebahagiaan dunia sebelum akhirat.
Dia menyampaikan: “Tuduhan yang sangat menyedihkan terhadap Islam, ditambah perpecahan internal dengan prinsip pihak luar “Devide at empire”, berlanjut dengan Alquran yang dihafal dan dibaca, membuat kehancuran umat Islam nyata di depan mata.”
Tiga hal sumber kesalahan ini diperparah dengan kesalahan pemahaman untuk menikmati perpecahan dan melupakan persatuan. “Kita disibukkan dengan perbedaan yang tak penting, bercampur antara wajib dan sunat, haram dan makruh. Melupakan hakikat persatuan umat.”
Persatuan bertambah nihil dan jauh dari harapan, saat di kalangan ulama umat masih senang dengan perpecahan. Orasi ilmiah itu berlanjut dengan ucapan: “Kejahatan takfir, tafsiq dan tabdi’ yang terus ditebar. Padahal kita Azhary menganut pemahaman bahwa tidak akan mengkafirkan muslim yang jahat.”
Solusi dari keprihatinan ini adalah mengerjakan apa yang telah dipahami dari pentingnya persatuan. “Ini waktu kerja, bukan omong doang. Alangkah sedih, berkata tanpa kerja nyata.”
Setelah naskah akademis dibaca, Syekh Ahmed Tayyeb berbicara lepas, dan menambahkan: “Bahwa perbedaan adalah hakikat, maka hargai perbedaan agama dan pendapat. Tetap saja manhaj Islam dijalankan oleh muslim, tanpa ada pemaksaan. Menghormati agama lain adalah wajib. Sehingga Islam di dalam kitab sucinya Alquran membolehkan muslim untuk menikah dengan kitabiyah. Bahkan sembelihan ahli kitab halal dimakan oleh muslim.
Lebih jauh lagi, boleh bagi muslim untuk mengucapkan selamat raya untuk non muslim. Posisi muslim, jika diserang baru menyerang lawan. Jika tidak ada serangan, maka kebaikan ditebarkan hingga kepada non muslim.”
Jika menelusuri pemikiran ulama Azhar termasuk orasi ilmiah grand syekh yang moderat di auditorium Harun Nasution UIN Jakarta ini, maka sebagian orang akan menilai orasi ini beraroma liberal dan bahkan sebagian berseberangan dengan pendapat MUI. Tapi menurut penulis -yang merupakan alumni Azhar, perwakilan dari OIAA Sumatera Utara, yang hadir bersama dengan Prof. Dr. Nurhayati, rektor UIN Sumut- bahwa itulah Azhar yang moderat, akal dan naqlnya bersatu dalam ide yang terkadang berseberangan dengan pendapat ulama lain.
Penulis menyimpulkan dari perkataan syekh dan ulama Azhar lainnya bahwa perkara bank konvensional itu syari, ucapan salam ke non muslim boleh, nikah kitabiyah itu halal, sembelihan non muslim syah dan legal adalah ide moderasi yang tidak perlu dipaksakan, tapi baik untuk disampaikan. Hal ini terjadi karena al-Azhar melihat dunia luas dengan platform Alquran, hadis dan logika serta realita.
Akhir kata dari Syekh Azhar yang sangat menarik dari orasi ilmiah yang dihadiri oleh para rektor PTKIN se- Indonesia, utusan OIAA (Organisasi Internasional Alumni al-Azhar) dari berbagai provinsi, akademisi, mahasiswa UIN Jakarta adalah: “Boleh saja kita berseberangan dengan turats dengan tetap menghormati para ulama.”
*Ka Prodi S3 KPI FDK UIN Sumut
Discussion about this post