SINABANG, Waspada.co.id – ‘Langgar Dulu Baru Izin Kemudian’. Ungkapan itu agaknya pantas dialamatkan ke PT Raja Marga (PT RM), sebuah perusahan swasta yang ditengarai melakukan perambahan hutan dan pembukaan lahan tanpa Izin resmi alias ilegal di Kabupaten Simeulue, Provinsi Aceh.
Tak tanggung-tanggung, informasi yang diperoleh media ini, ribuan hektare lahan yang terbentang di sejumlah kecamatan di wilayah kepuluaan Aceh itu dibabat PT RM untuk dijadikan ladang bisnis komoditi kelapa sawit.
Alhasil, kritik pun berkumandang mendesak PT RM diproses hukum.
Mulai dari tokoh masyrakat, aktivis hingga wakil rakyat.
Sebab, selain praktik culas tersebut berpotensi merusak keberlangsungan ekosistem, eksploitasi hutan tanpa izin juga bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku.

Misal, Undang-Undang (UU) nomor 39 tahun 2024 tentang perkebunan khususnya pasal 105, mengurai gamblang ancaman pidana penjara dan denda hingga Rp10 miliar bagi pelaku pembukaan lahan perkebunan tanpa izin.
Ada juga Undang-Undang nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusak Hutan (UU P3H) menegaskan pelaku dapat diancam pidana 15 tahun penjara disertai denda mencapai Rp100 miliar.
Nah, jika merujuk aspek yuridis tadi, artinya negara tak main-main ‘melibas’ setiap pelaku perambahan hutan dan pembukaan atau pengelolaan lahan perkebunan dengan cara non prosesural.
Lalu mengapa kasus PT RM tak kunjung tuntas, bukankah juga tak punya izin?
Seperti diketahui, Pj Bupati Simeulue Teuku Reza Fahlevi dalam wawancara pers Waspada Online (Group Harian Waspada) pada Sabtu (4/1) lalu, mengaku tak memiliki dasar mengambil sikap tegas. Dalih yang mengemuka, karena lahan yang jadi sorotan disebutnya bukan milik PT RM tapi milik seseorang yang bernama Fadil.
Sontak pernyataan orang nomor satu di Simeulue ini memicu spekulasi liar. Pasalnya, pada tanggal 5 Agustus 2024 Pemkab Simeulue pernah menerbitkan Surat keputusan bernomor: 500/1752/2024 tentang pemberhentian aktivitas PT RM karena tak mengantongi izin.
Menariknya, saat disinggung kembali mengenai surat tadi, alasan Pj Bupati, dirinya terdorong desakan publik.
“Waktu itu saya tergiring opini dan desakan publik. Tapi setelah saya minta penjelasan PT Raja Marga, ternyata lahan itu bukan punya mereka, melainkan milik Fuadil. Jadi apa yang mau ditindak,” ucap Pj Reza Fahlevi.
Menanggapi hal ini, Fadil yang dikonfirmasi beberapa waktu lalu di salah satu warung kopi tak membantah pernyataan Pj Bupati Reza yang menyeret namanya. Namun, ia menerangkan, keterlibatannya tak lebih sebagai legal admnistrasi. Sementara, biaya pembeliaan lahan dibeberkan Fadil bersumber dari PT RM, saat ini lahan tersebut sedang proses pengajuan Hak Guna Usaha (HGU).
Karena itu, ia menolak jika kasus dugaan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit PT RM tanpa izin tersebut disasarkan ke dirinya.
“Secara admnistrasi betul nama saya, tapi uang pembelian lahan dari PT Raja Marga. Jadi, yang bertanggung jawab PT Raja Marga bukan saya,” ucap Fadil.
Teranyar, penegasan serupa juga disampaikannya saat menghadiri undangan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Simeulue yang turut dihadiri unsur pemerintah setempat, Kamis (23/1).
Fadil yang dicecar pertanyaan oleh Anggota Dewan Simeulue Rita Diana, kembali memperjelas posisinya cuma di level admnistrasi, sedangkan lahan milik PT RM.
Nah, menilik fakta yang tersingkap, secara nalar rasanya tak sulit menuntaskan sekaligus mengurai benang merah dugaan perambahan dan pengelolaan hutan tanpa izin. Apalagi, dalam keterangan di hadapan anggota dewan, Fadil cukup representatif mewakili PT RM.
Lantas, akankah, kasus ini klimaks berlabuh di peradilan hukum? Atau terus menerus menuai sorotan yang bisa saja kelak menjadi ‘Bom Waktu’. (wol/ind/d2)
Editor AGUS UTAMA
Discussion about this post