MEDAN, Waspada.co.id – Wilayah Indonesia berada pada sistem tektonik aktif yang dibentuk oleh interaksi lempeng tektonik yaitu lempeng Indo-Australian, Eurasia, dan Pasifik. Ketiga lempeng tersebut sangat mempengaruhi kegempaan Indonesia salah satunya gempa megathrust.
Kepala Balai Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Wilayah I, Dr. Hendro Nugroho menuturkan pergeseran masing-masing lempeng sebesar 5 – 7 cm tiap tahun sehingga hal tersebut membangkitkan rentetan gempa bumi salah satunya gempa megathrust. Gempa megathrust merupakan tipe gempa bumi yang dibangkitkan oleh zona subduksi akibat interaksi pada bidang kontak antar dua lempeng tektonik di kedalaman dangkal kurang dari 50 km.
“Megathrust dapat dianalogikan sebagai “gempa yang memiliki mekanisme patahan dengan dorongan naik yang besar”, karena mampu mengakumulasi energi medan tegangan gempa dan memicu pelepasan energi yang kuat sehingga akan menimbulkan rekahan panjang dan bidang pergeseran yang luas,” tuturnya, Jumat (23/8).
Potensi gempa Megathrust terbagi sebanyak 13 zona yang terbentang dari Sumatra sampai Papua. Wilayah Sumatra memiliki 6 zona megathrust, wilayah Jawa-Bali-Nusa Tenggara memiliki 4 zona, wilayah Sulawesi memiliki 1 zona, dan wilayah Maluku dan Papua masing-masing memiliki 1 zona. Secara seismisitas, potensi megathrust tidak terdapat pada wilayah Kalimantan karena tidak dilintasi oleh bidang pertemuan lempeng tektonik.
“Saat ini, yang diwaspadai yaitu zona megathrust Mentawai-Siberut dan Selat Sunda karena rilis gempa dengan magnitudo besar terakhir sekitar lebih dari 200-an tahun sehingga dikategorikan sebagai wilayah dengan seismic gap. Periode selama itu sangat memungkinkan terjadinya akumulasi stress seismik pada bidang kontak dan berpotensi dilepas pada suatu saat,” ungkapnya.
BMKG saat ini sangat aktif memonitoring wilayah tersebut dan selalu memberikan peringatan terkait potensi gempa megathrust berkekuatan magnitudo 8,9 di wilayah Selat Sunda dan Mentawai-Siberut.
Ditambahkan Seismologist di BMKG Wilayah I, Dr. Andrean Simanjuntak bahwa wilayah Indonesia seperti Aceh dan sekitarnya pernah merasakan dampak gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia pada Minggu, 26 Desember 2004.
“Dampak gempa tsunami 2004 dengan Magnitudo 9.0 sampai pada wilayah pantai barat Afrika dan Thailand serta guncangannya dirasakan dalam radius hingga 500 km. Secara historis, rilis gempa megathrust pernah terjadi pada wilayah Mentawai pada tahun 1797 dan 1833 sementara di Selat Sunda pernah terjadi pada 1699 dan 1780 dengan magnitudo 8,6. Hampir 200 tahun, aktivitas gempa dengan Magnitudo diatas 8 tidak pernah terjadi dan mungkin akumulasi ini akan menghasilkan magnitudo yang sama walaupun memang itu tidak bisa dipastikan kapan terjadi baik waktu dan lokasi nya tapi potensinya bisa kita ukur untuk saat ini,” tambahnya.
Saat ini, BMKG telah mengoperasikan 533 sensor seismik diseluruh Indonesia guna memantau aktivitas gempa bumi secara cepat, tepat dan akurat.
Akan tetapi, gempa belum bisa diprediksi baik dalam besarnya, waktu dan lokasi kejadian. Untuk itu masyarakat dihimbau untuk tetap mengikuti informasi resmi dari BMKG.
“Informasi potensi gempa dan tsunami merupakan upaya persiapan untuk mengetahui resiko terburuk efek gempa bumi dan ketika kita bisa mengetahui efeknya kita tahu bagaimana untuk mencegah dan memitigasi risiko kerugian baik dalam sektor sosial, ekonomi, kesehatan dan korban jiwa,” tandasnya. (wol/eko/d2)
Editor: Ari Tanjung
Discussion about this post