JAKARTA, Waspada.co.id – Risiko fiskal berpotensi muncul karena pelebaran defisit buntut dari penerapan program populis seperti progam makan siang gratis. Penerapan kebijakan ini membutuhkan biaya besar yang akan membebani prospek surat utang negara (SUN) dan nilai tukar rupiah di masa yang akan datang.
Program populis biasanya hanya akan mengatasi persoalan kebutuhan masyarakat jangka pendek, seringkali menjadi strategi andalan para pemimpin yang ingin mendapatkan dukungan lebih besar dari rakyat. Hal tersebut bisa menjadi masalah ketika kebijakan populis itu berpotensi membawa kredibilitas keuangan negara ke level lebih rendah dari sebelumnya.
Pengalaman Thailand bisa menjadi pelajaran. Negeri Gajah Putih itu, melalui kebijakan Perdana Menteri Srettha Thavisin, meluncurkan program populis -yang ia gencar kampanyekan selama pemilu- berupa pemberian uang belanja lewat dompet digital, senilai 10.000 baht atau sekitar US$279, setara Rp4,37 juta kepada sedikitnya 50 juta orang Thailand berusia dewasa.
Tujuannya adalah untuk mendorong konsumsi agar roda ekonomi Thailand mampu bangkit. Program Thailand itu, yang mirip Bantuan Langsung Tunai (BLT) di Indonesia, menghabiskan biaya US$14 miliar, sekitar Rp219,42 triliun yang seluruhnya dibiayai oleh utang.
Program berbiaya mahal itu membuat para investor dan lembaga penilai kredit was was karena dikhawatirkan dapat berdampak pada lonjakan inflasi dan meruntuhkan konsolidasi fiskal Thailand yang sudah dibangun susah payah setelah terhantam pandemi 2020. Partai oposisi, para ekonom hingga bank sentral Thailand berbaris mengecam bahkan menolak program Srettha tersebut.
Lembaga pemeringkat global, Moody’s dan S&P Global Ratings bahkan memberikan peringkat negatif bagi Thailand akibat kenaikan beban utang yang persisten dan pelambatan pertumbuhan ekonomi mereka. Pertumbuhan ekonomi Thailand terperosok hingga cuma naik 1,9% pada 2023, terendah sejak 2021 silam.
Hampir setahun setelah Pemilu di Thailand berlangsung Mei 2023 lalu, mata uang mereka, baht, telah terperosok melemah 6% sejauh ini, dan menjadi valuta Asia terburuk di kawasan. Pemodal asing juga banyak melepas surat utang serta saham dari negeri itu.
Situasi di Thailand seperti deja vu ketika melihat Indonesia saat ini. Program makan siang gratis, yang diusung calon pemenang Pilpres 2024 Prabowo Subianto, selama kampanye, diperkirakan memakan biaya Rp450 triliun selama lima tahun di mana pada tahun pertama kebutuhan biaya diprediksi sebesar Rp120 triliun. Angka itu melampaui nilai defisit APBN 2023.
Program makan siang gratis yang direncanakan diberikan pada 80-an juta anak sekolah tersebut dipastikan mempengaruhi tingkat defisit fiskal Indonesia tahun depan. Dalam proses pembicaraan APBN 2025, pemerintah mengajukan kenaikan defisit menjadi 2,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dari tahun ini sebesar 2,29% dan 2023 ketika defisit fiskal menyentuh level terendah dalam 12 tahun terakhir.
Lembaga pemeringkat global Fitch Ratings telah memberi peringatan. “Kami percaya risiko fiskal Indonesia dalam jangka menengah meningkat menyusul beberapa rencana program Prabowo seperti makan siang gratis yang memakan sekitar 2% Produk Domestik Bruto dan pernyataannya bahwa Indonesia bisa menaikkan rasio utang terhadap PDB,” kata Thomas Rookmaker, Head of Asia Pasicif Sovereigns di Fitch Ratings.
Pemodal asing mulai rajin melepas aset rupiah baik di saham maupun surat utang negara. Catatan Bank Indonesia, bahkan setelah ketidakpastian pasca Pemilu 14 Februari lalu telah jauh berkurang, pemodal asing masih mencatat posisi jual bersih (net sell) surat utang sebesar Rp5,87 triliun sampai 22 Februari lalu.
Kepemilikan asing di surat berharga negara saat ini mendekati level terendah sejak awal tahun di Rp836,3 triliun per 26 Februari, menurut data Kementerian Keuangan. Angka itu sudah berkurang Rp12,86 triliun dari level tertinggi tahun ini yang terjadi pada 25 Januari lalu.
Sementara rupiah telah melemah 0,6% ke posisi saat ini di Rp15.685/US$ dibandingkan levelnya pada 13 Februari, sehari sebelum pemungutan suara digelar. Sedangkan bila menghitung sejak posisi akhir tahun lalu, nilai rupiah telah melemah 1,9% year-to-date.
“Kebijakan-kebijakan seperti itu [populis] hanya memberikan dampak sementara pada pertumbuhan,” komentar Euben Paracuelles, Ekonom Nomura Holdings di Singapura, seperti dilansir Bloomberg News.
Risiko Utang
Program makan siang gratis serta keberlanjutan beberapa Program Strategis Nasional (PSN) seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang juga memakan biaya tidak kecil, kemungkinan akan mendorong kebutuhan utang negara yang lebih besar.
Tim ekonomi Prabowo sebelumnya melontarkan gagasan untuk melebarkan defisit anggaran jadi 6%, sementara rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, menurut Prabowo bisa dinaikkan hingga 50%.
Bila itu dilakukan, maka akan dibutuhkan revisi Undang-Undang Keuangan Negara tahun 2003 yang saat ini masih membatasi defisit fiskal tahunan Indonesia sebesar 3% dari PDB dan total utang pemerintah terhadap PDB maksimal 60%.
“Revisi terhadap Undang-Undang yang sudah berusia 20 tahun tersebut memerlukan persetujuan parlemen dan mungkin akan menghadapi pembahasan politik yang berlarut-larut. Prediksi kami, hal tersebut akan memakan waktu minimal 2-3 tahun termasuk upaya konsolidasi politik dari Prabowo untuk merangkul partai-partai,” kata Satria Sambijantoro, Head of Equity Research Bahana Sekuritas dalam catatannya.
Sampai akhir Januari lalu, rasio utang terhadap PDB telah menyentuh 39% dengan posisi beban utang sebesar Rp8.253,09 triliun. Naik signifikan dibandingkan posisi 2014 lalu di mana saat itu rasio utang baru sebesar 24,7% dari PDB.
Dalam APBN 2024, alokasi anggaran untuk pembayaran bunga utang saja mencapai Rp497,3 triliun, sekitar 23,9% dari total belanja pemerintah pusat, naik dari 2023 sebesar 23,3%.
Utang yang terus meningkat tanpa diimbangi oleh pertumbuhan pendapatan dalam kecepatan yang sama akan kian mempersempit ruang fiskal untuk membiayai pembangunan. Semakin sempit ruang fiskal, semakin terbatas fleksibilitas negara mengalokasikan keuangan untuk mendukung pembangunan.
Debt to service ratio (DSR) yang mengukur kemampuan negara membayar bunga dan cicilan utang dibandingkan pendapatan, sejauh ini terus naik dengan kecepatan melampaui pertumbuhan pendapatan.
Selama 2015-2023, DSR rata-rata meningkat 13,7% per tahun sedangkan pendapatan negara hanya tumbuh 7,08% per tahun pada periode yang sama.
Pendapatan negara akan lebih banyak tersedot untuk membayar utang dan bunganya alih-alih untuk membangun. Pada 2023 lalu, DSR Indonesia sebesar 38%, sudah lebih rendah setelah sempat menyentuh rekor mencapai 46,7% pada pandemi 2020. Ketika 38% pendapatan habis untuk membayar bunga dan cicilan utang, maka tersisa 62% anggaran yang bisa digunakan untuk membiayai pembangunan.
Dengan perekonomian domestik yang dikhawatirkan masih akan melambat tahun ini, ditandai dengan penurunan setoran pajak pada Januari terseret pelemahan daya beli masyarakat, sebenarnya Indonesia memiliki keterbatasan keleluasaan dalam membiayai program-program berbiaya besar. Terutama bila program itu belum jelas akan memberikan multiplier effect seberapa besar bagi perekonomian.
Sinyal perlambatan ekonomi masih kentara melihat beberapa indikator terbaru. Di antaranya, penurunan realisasi penerimaan pajak. Realisasi penerimaan pajak pada Januari terkontraksi 8% year-on-year, sebesar Rp149,25 triliun, setara 7,5% dari target APBN 2024.
Penurunan itu terutama akibat anjloknya penerimaan pajak pertambahan nilai dalam negeri, kontributor terbesar total penerimaan pajak, yang anjlok terdalam hingga 30,75% pada Januari lalu.
Opsi melebarkan defisit APBN dengan menambah utang untuk membiayai program yang hanya berdampak sementara pada pertumbuhan, membutuhkan penghitungan matang yang menuntut kehati-hatian serius agar tidak menjadi boomerang pada perekonomian Indonesia di masa mendatang. (wol/bloomberg/pel/d2)
Discussion about this post