JAKARTA, Waspada.co.id – Mukjizat terbelahnya bulan merupakan salah satu dari mukjizat Nabi Muhammad SAW yang paling terkenal dalam tradisi Islam. Kisah ini tercatat dalam Alquran, tepatnya pada surah Al-Qamar (54:1-2), yang berbunyi:
﴿ﺍﻗﺘَﺮَﺑﺖ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔُ ﻭﺍﻧﺸﻖ ﺍﻟﻘَﻤَﺮ٭ ﻭﺇﻥْ ﻳَﺮَﻭﺍ ﺁﻳﺔً ﻳُﻌﺮِﺿﻮﺍ ﻭﻳﻘﻮﻟﻮﺍ ﺳﺤﺮٌ ﻣﺴﺘﻤﺮٌ﴾
Artinya: “Kiamat telah dekat dan bulan telah terbelah. Jika mereka (orang-orang musyrik) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata, “(Ini adalah) sihir yang berkelanjutan.” (QS Al-Qamar [54]: 1-2)
Mukjizat ini terjadi sebagai jawaban atas permintaan kaum Quraisy yang menantang Nabi Muhammad untuk menunjukkan tanda kenabian yang jelas. Namun, kaum Quraisy yang menyaksikan peristiwa itu tetap tidak percaya dan menganggapnya sebagai sihir.
Peristiwa ini juga tercatat dalam berbagai hadits yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat Nabi. Sebagian ulama menafsirkan bahwa peristiwa ini benar-benar terjadi secara fisik pada masa hidup Nabi Muhammad SAW, sementara sebagian lainnya memahaminya sebagai peristiwa yang akan terjadi di akhir zaman.
Mukjizat terbelahnya bulan menunjukkan kekuasaan Allah SWT serta kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW sebagai utusan terakhir. Ini menjadi salah satu bukti kekuatan spiritual dan keajaiban yang tidak bisa dijelaskan oleh logika manusia biasa.
Ulama asal Turki, Badiuzzaman Said Nursi mengungkapkan sebuah pertanyaan, andaikan terbelahnya bulan benar-benar terjadi, bukankah pasti akan diketahui oleh seluruh dunia dan pasti tercatat dalam buku-buku sejarah?
Lalu, apakah seluruh umat manusia waktu itu melihat mukjizat terbelahnya bulan ini?
Said Nursi menjelaskan, terbelahnya bulan merupakan sebuah mukjizat untuk menegaskan kenabian. Ia terjadi di hadapan orang-orang yang mendengar pernyataan kenabian, namun mereka mengingkarinya. Ia terjadi pada malam hari, di saat kelalaian demikian pekat, dan tampak hanya sekejap.
Di samping itu, terdapat perbedaan kenampakan bulan, keberadaan awan, mendung, dan berbagai penghalang lainnya yang membuatnya tak terlihat. Apalagi teleskop dan sarana peradaban belum dikenal luas saat itu.
“Karenanya, proses terbelahnya bulan tidak harus dilihat oleh semua orang di semua tempat. Ia juga tidak harus masuk ke dalam buku-buku sejarah,” kata Nursi dalam buku berjudul Kumpulan Mukjizat Nabi Muhammad SAW halaman 293-295.
Lalu Nursi menjelaskan beberapa poin berikut yang dengan izin Allah dapat menghapus awan ilusi yang menutupi wajah mukjizat yang terang ini:
Poin Pertama, yaitu sikap keras kepala kaum kafir ketika itu sangat dikenal dalam sejarah. Ketika Alquran menyatakan, ﻭﺍﻧﺸﻖ ﺍﻟﻘﻤﺮ “bulan telah terbelah,” dan gemanya terdengar sampai cakrawala, tak ada satupun dari kaum kafir yang mengingkari ayat tersebut, yakni mengingkari kejadian itu.
Sebab, andaikan kejadian tersebut tidak terjadi pada saat itu dan tidak ada menurut mereka, tentu mereka tergerak dengan hebat untuk mendustakan pengakuan kenabian dan mengingkari Rasul SAW.
Namun, lanjut Nursi, tidak ada satupun buku sejarah yang menukil perkataan kaum kafir seputar pengingkaran mereka terhadap peristiwa terbelahnya bulan. Yang ada hanyalah penjelasan ayat Alquran:
ﻭﻳﻘﻮﻟﻮﺍ ﺳﺤﺮ ﻣﺴﺘﻤﺮ
Artinya: “Mereka berkata, ‘Ini adalah sihir yang berkelanjutan.”
Maksudnya, kata Nursi, orang-orang kafir yang menyaksikan mukjizat itu berkata, “Ini adalah sihir”. Maka, utuslah orang ke sejumlah penjuru untuk menyaksikan apakah mereka melihat atau tidak?!”
Keesokan harinya, sejumlah rombongan dari Yaman dan lainnya datang. Ketika ditanya, mereka menjawab bahwa mereka telah melihat hal yang sama. Maka, orang-orang kafir itu pun berkomentar, “Sihir anak yatim yang diasuh Abu Thalib telah sampai ke langit”. (wol/republika/mrz/d2)
Discussion about this post