dan Ekspansinya yang Mengacau Perdamaian
Oleh:
H. Mohammad Said (Alm)
6. Zionisme dan sarana masuk Palestina
Sementara itu sejak awal abad ke-18 sudah banyak terbit tulisan kalangan sastrawan/pengarang Yahudi yang menggugah golongannya dalam mengarahkan sebulat tekad untuk memiliki suatu tanah air yang mereka terus menerus impikan sepanjang abad. Yaitu “dreamland” Palestina itu dan yang mereka anggap tetap “tanah air” yang dijanjikan (“promise land”) sejak zaman Nabi Musa itu, tanpa mereka akui bahwa mereka sebenarnya sudah berada dalam kutukan Tuhan YME.
Menjelmalah kenangan lama Yahudi terhadap bukit yang mereka kenal bernama Zion di Palestina itu. Setiap Yahudi digembleng sanubarinya supaya terpusat idaman untuk pindah ke sana. Maka lahirlah gagasan Zionisme, yang pernah diimpikan oleh penulis Yahudi Moses Ness dalam bukunya “Rom and Jerusalem” terbit di tahun 1862.
Dalam th. 1897 segala sesuatu sudah matang dianggap oleh tokoh-tokoh Yahudi untuk mencanangkan tuntutan mereka dalam memperoleh suatu tanah air sendiri, hal mana ditandai dengan berlangsungnya suatu kongres pertama dari kaum Zionisme di Basel (Swiss) diprakarsai oleh seorang wartawan Yahudi bernama Theodor Herzl. Kongres tersebut menetapkan kebulatan tekad mereka untuk mendapatkan “tanah air” Palestina. Segala sesuatunya sudah direncanakan sejak itu, dengan mana setiap orang Yahudi bertanggung jawab untuk menjadi peserta aktif. Kongres tersebut membentuk organisasinya untuk sedunia bernama World Zionist Organisation sekaligus membentuk institut-institut yang diperlukan demikian juga persiapan cabang.
Perang dunia ke-1 menimbulkan berbagai aspek menguntungkan maupun merugikan bagi sesuatu bangsa baik yang terlibat langsung maupun tidak. Inggris sendiri banyak berhutang budi dan materi kepada Yahudi dalam mensukseskan bangsa itu mencapai kemenangan perang. Seorang pemimpin Yahudi, Chaim Weizmann yang menggantikan Herzl, setelah pelopor organisasi itu meninggal, selama dalam perang itu melakukan kontak intensif dengan pemerintahan Inggris.
Ia telah berhasil menekan menteri luar Inggris, Lord Arthur Balfour untuk mengeluarkan janji pada tanggal 2 Nopember 1917 dikenal dengan “Balfour Declaration”, sbb: “Bahwa pemerintah kerajaan Inggris berpendapat perlunya suatu tanah air nasional bagi orang Yahudi, bahwa pemerintah tersebut akan melancarkan sedaya upayanya untuk mencapai hasilnya, tapi bahwa adalah dipahami bahwa tidak ada sesuatu apapun yang bisa mengganggu segala hak sipil dan peragamaan dari golongan masyarakat bukan-Yahudi di Palestina maupun hak dan status politik yang dinikmati oleh Yahudi di negara lain.”
Sebagai jelas diperhatikan bahwa deklarasi Balfour itu diperbuat di kala perang dunia sendiri sedang berkecamuk, tapi rupanya setelah habis perangpun teman-teman sekutu Inggris dalam konperensi mereka di San Remo di th. 1920 turut memperteguh/mendukung deklarasi Balfour. Bahkan kerajaan Turki yang sudah terjepit (hilang wilayah, hilang ibukota Constantinoplenya dan sudah digelar dengan julukan “the sick man of Europe”) dalam perundingan di Tevre pada tahun itu telah dipaksa turut menyetujui deklarasi Balfour tersebut. Suatu persetujuan yang ditandatangani antara Amir Faisal dengan Chaim Weizmann (atas nama kaum Zionisme) menyetujui kembalinya orang Yahudi ke Palestina dengan sarat segala hak warga Arab tetap dipelihara.
Amir Faisal dewasa itu menjadi Raja Hejaz, yang sudah dipengaruhi Inggris. Dengan putusnya hubungan Hejaz dengan Turki akibat kesalahan Turki di masa perang dunia ke-1 itu, telah membuat Faisal rupanya tidak ada pilihan selain mempertahankan apa yang masih mungkin dipertahankan dari perembesan Inggris dan Perancis, golongan pemenang dewasa itu di Timur Tengah. Tidak ada pilihan bagi raja Faisal yang sudah tidak berdaya kecuali untuk menyelamatkan tanah suci Mekkah dan Medinah dari kemasukan orang kafir. Tanggal 20 Juni 1922 Kongres Amerika Serikat mengambil resolusi bahwa negara itu menyetujui sekali dijadikannya Palestina untuk tanah air orang Yahudi, dengan pengertian supaya hak warga bukan-Yahudi terpelihara.
Tanggal 24 Juli 1922 majelis League of Nations (PBB-lama) menetapkan bahwa Palestina menjadi mandat PBB lama itu, yang dibentuk oleh negara-negara pemenang dari perang dunia ke-1 tersebut. Dengan wewenang mandataris ini PBB lama tersebut menguasakan pula mandatnya kepada Inggris agar negara ini melaksanakan administrasi pemerintahan sesuai dengan yang baik baginya. Dari sini “sumber” uang dianggap syah oleh Inggris untuk menguasai Palestina bersama wilayah lain di kawasan Timur Tengah itu hasil rampasan dari Turki.
Maka membanjirlah Yahudi masuk ke Palestina. Dalam tahun 1880 masa Palestina dimiliki oleh Turki jumlah orang Yahudi di seluruh Palestina baru sekedar 30.000 jiwa. Jumlah itu bertambah menjadi 65.000 pada th. 1919, sedangkan sepuluh tahun kemudian (1929) melonjak menjadi 157.000 jiwa. (**)
Penulis adalah Tokoh Pers Nasional dan Pendiri Harian Waspada
BACA JUGA
SEJARAH LOLOSNYA YAHUDI KE PALESTINA (Bagian 1)
SEJARAH LOLOSNYA YAHUDI KE PALESTINA (Bagian 2)
SEJARAH LOLOSNYA YAHUDI KE PALESTINA (Bagian 3)
SEJARAH LOLOSNYA YAHUDI KE PALESTINA (Bagian 4)
SEJARAH LOLOSNYA YAHUDI KE PALESTINA (Bagian 5)
SEMS NAKOMELINGEN
(GeBIBBELWERKnesis X : 21 – 31)
Naar de kaart van HENRY LANCE in BUNSENS
Discussion about this post