JAKARTA, Waspada.co.id – UU Nomor 4 tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, sejatinya merupakan implementasi dari Pasal 28 H ayat (1) UUD 45 mengamanatkan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
“Untuk itu, negara menjamin pemenuhan kebutuhan warga negara atas tempat tinggal yang layak dan terjangkau dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif,” demikian ditegaskan Pemerhati Sosial Politik, Sri Radjasa MBA, dalam rilisnya, Selasa (4/6).
Dikatakan, niat mulia sebagaimana diamanatkan oleh pasal 28H ayat (1) UUD 45, sesungguhnya amanat yang diberikan dan dibebankan kepada negara agar menjamin pemenuhan kebutuhan warga negaranya atas tempat tinggal yang layak, dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri dan produktif.
“Tetapi mengapa dalam implementasinya justru terjadi kotradiktif sebagaimana yang dimaksud dalam UU No 4 tahun 2016. Dimana rakyat dibebankan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan atas tempat tinggal yang layak dan terjangkau,” terang pria yang juga mantan BIN ini.
Diakui, betapa mirisnya jika melihat nasib rakyat hari ini, untuk sekadar bermimpi besok masih bisa makan saja, begitu sulitnya. Belum lagi beban pajak yang terus meroket, harga listrik semakin mahal, harga kebutuhan pokok terus membumbung bahkan kerapkali terjadi kelangkaan, biaya kesehatan dan pendidikan yang sulit diprediksi.
“Di tengah himpitan hidup yang menjerat leher, alih-alih pemerintah hadir dengan semangat nawacita, justru aroma dukacita dihembuskan melalui Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang dibebankan kepada rakyat. Bisa dikatakan Tapera sebagai pengingkaran negara terhadap UUD 45,” ujar Sri.
Program Tapera, kata Sri, jika diamati dari sudut pandang konstitusi UUD45, merefleksikan adanya inkonsistensi negara dalam bentuk tanggung jawab konstitusional terhadap kesejahteraan rakyat.
“Tapera dipandang sebagai kebijakan “lari dari tanggung jawab” pemerintah atas pemenuhan kebutuhan warga negara, untuk memperoleh tempat tinggal yang layak. Untuk itu Tapera yang dibebankan kepada rakyat, patut diduga sebuah kebijakan yang inkonstitusional,” tegasnya.
Lanjut Sri, mekanisme penyelenggaraan Tapera melalui penghimpunan dana masyarakat, amat rentan terjadinya penyelewengan dana oleh pihak pemerintah. Oleh karenanya tingkat kepercayaan masyarakat amat rendah terhadap kegiatan penghimpunan dana masyarakat oleh Pemerintah, akibat merebaknya kasus mega korupsi yang baru saja terjadi di Asabri, Jiwasraya, Taspen dan Dana Haji serta berbagai penghimpunan dana oleh institusi pemerintah.
“Mari bercermin pada negara Kuba, dengan kekayaan alam yang terbatas dan di embargo AS sampai hari ini, tapi mampu membangun keadilan sosial dan ekonomi, bagi terwujudnya kesejahteraan rakyat, melalui program pendidikan dan kesehatan gratis. Kuba walaupun berideologi komunis, tapi pemerintahnya mampu mengantarkan negara tersebut, sebagai negara dengan tingkat jaminan sosial tertinggi didunia. Kuba mampu menyediakan perumahan gratis bagi setiap kepala rumah tangga, tanpa harus membebani rakyatnya,” jelasnya lagi.
Potret Indonesia hari ini, rakyat selaku pemegang kedaulatan hanya dijadikan objek, oleh kekuatan politik penguasa. Rakyat selalu menjadi bulan-bulanan untuk membiayai kelangsungan hidup negara, sementara pemerintah yang berkuasa tidak mampu membangun infrastruktur ekonomi yang memiliki nilai lebih untuk menopang devisa negara.
Kepada Pemerintah yang berkuasa, Sri meminta agar menghentikan segala bentuk kebijakan yang menyengsarakan rakyat, karena kalian tidak lebih dari pelayan bagi tuan di negeri ini yaitu rakyat.
“Jangan tunggu habisnya kesabaran rakyat, karena sejarah telah membuktikan kekuatan penguasa terhempas luluh lantak dan mencatat kalian sebagai penghianat dalam sejarah bangsa ini,” pintanya. (wol/rls/asred/d2)
Discussion about this post