MEDAN, Waspada.co.id – Pada bulan November Sumut merealisasikan laju tekanan inflasi sebesar 0,54 persen.
Ekonom Sumut, Gunawan Benjamin, menuturkan diketahui 5 komoditas penyumbang inflasi terbesar di topang harga tomat, bawang merah, minyak goreng, udang bawah, bawang putih dan rokok.
“Sementara cabai merah dan cabai rawit beserta daging ayam ras menyumbang deflasi pada bulan November,” tuturnya, Rabu (4/12).
Namun realisasi inflasi tersebut nyatanya tidak membuat petani hortikultura menikmatinya. Berdasarkan nilai tukar petani (NTP) yang dirilis oleh BPS, kesejahteraan petani hortikultura justru mengalami penurunan di bulan november.
“NTP petani hortikultura justru terpuruk ke level 84.34 atau turun 1.43% dibandingkan dengan bulan sebelumnya (oktober),” jelasnya.
Kondisi berbeda justru diperlihatkan dari petani perkebunan rakyat yang NTP nya justru meroket 5.42% secara bulanan di level 206.53 di November. Membaiknya NTP sektor tanaman perkebunan rakyat yang didominasi sawit, dipicu oleh meroketnya harga minyak mentah sawit atau CPO.
“Di mana pada bulan November harga CPO memang dalam tren naik,” katanya.
Dimulai dari sekitar 4.870 ringgit per ton di akhir bulan oktober, sempat menyentuh 5.190-an ringgit per ton, dan berbalik turun dikisaran 5.000 ringgit per ton di akhir bulan.
“Dan kenaikan NTP sektor tanaman perkebunan rakyat tersebut yang menopang rata-rata kenaikan NTP gabungan di Sumut. Dimana pada bulan November NTP petani Sumut naik 3,1% di level 145.77,” ungkapnya.
Jadi kenaikan NTP Sumut lagi-lagi tidak mewakili semua nasib petani yang ada di Sumut. Bahkan perbedaan nasib yang jauh berbeda jika membandingkan NTP Horti dengan perkebunan.
Selain petani hortikultura yang NTP nya anjlok, NTP tanaman pangan, peternakan dan perikanan juga mengalami penurunan. Bahkan banjir yang sempat melanda wilayah Sumut, yang sempat mendongkrak kenaikan sejumlah komoditas pangan nyatanya tidak memberikan keuntungan bagi petani kita.
“Harga memang sempat naik dua kali lipat lebih di pekan kemarin. Namun hujan deras, banjir dan tanah longsor justru tidak membuat petani berani turun ke ladang. Dan kenaikan harga lebih dipicu oleh meningkatnya biaya distribusi, tingginya penyusutan, tekanan margin atau keuntungan ditengah sepinya pembeli,” tandasnya.(wol/eko/d1)
Editor: Ari Tanjung
Discussion about this post