SIBIRUBIRU, Waspada.co.id – Bendungan Lau Simeme yang terletak di Kecamatan Sibirubiru masuk ke dalam proyek strategis nasional (PSN). Pasca proyek bendungan ini mulai dioperasikan, banyak dampak positif yang dirasakan oleh masyarakat sekitar. Salah satunya adalah terserapnya lapangan pekerjaan baik di sektor riil dan non riil.
Kondisi saat ini proyek Bendungan Lau Simeme tidak aktivitas konstruksi, akibat adanya protes dari warga yang lahannya terdampak pembangunan Bendungan Lau Simeme dengan memblokir akses pintu keluar masuk kendaraan alat berat.
Penasehat Aksi Damai Lau Simeme DAM, Ir Julianus Ginting, yang ditemui Waspada Online di tempat tinggalnya di Jalan Besar Sibirubiru mengaku bahwa pemerintah pusat dalam hal ini Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) II gagal menepati janji pembayaran ganti rugi lahan kepada warga.
“Tanggal 4 Desember 2023 disepakati antara semua pihak bahwa lahan warga yang terdampak proyek Bendungan Lau Simeme akan dibayarkan gantirugi sampai batas akhir 28 Februari 2024. Tapi sampai sekarang belum ada tindaklanjutnya. Jadi wajar dong kalau warga menutup akses jalan itu! Karena lahan mereka yang terdampak proyek belum juga dibayarkan ganti rugi lahannya,” ungkapnya, Jumat (15/3).
Julianus menambahkan, dari data yang mereka miliki ada 141 warga pemilik lahan yang terdampak proyek Bendungan Lau Simeme. Dan jika ditotalkan dari seratusan warga tersebut, sekitar 480,02 hektar lahan warga yang kini tak bisa lagi digunakan untuk bercocok tanam maupun berladang.
“Di sini masyarakat hanya mempertahankan haknya (menutup akses jalan). Tidak ada (berbuat) anarkis, hanya mempertahankan haknya. Seharusnya, pemerintah selesaikan dulu hak masyarakat, baru bekerja. Supaya gak terjadi hal-hal seperti ini. Sekarang ini kan masing-masing dirugikan. Masyarakat gak bisa gunakan lahannya untuk berladang karena sudah rusak, pemerintah proyeknya jadi gak berjalan karena akses jalan keluar masuk diturup warga,” imbuhnya.
Julianus dan warga lainnya sangat mendukung program-program pemerintah. Sebab Bendungan Lau Simeme ini akan menjadi ikon baru di desa mereka, yang mana diyakini ke depan akan menjadi objek wisata yang mampu meningkatkan taraf ekonomi masyarakat sekitar.
“Kita berharap pemerintah mau mengganti rugi lahan warga sesuai pasaran. Kalau di pinggir jalan Rp1 juta per meter dan agak ke dalam Rp300 ribu per meternya. Itu yang kami harapkan. Tapi, berapapun dealnya, kan ada upaya berembug dengan pemerintah,” ujarmya.
Lebih lanjut Julianus menjelaskan, saat ini sudah terbentuk Satgas A yang bertugas menginventarisir lahan-lahan yang akan diganti rugi berikut tanaman dan tegakan yang ada di dalamnya. Satgas B bertugas mengidentifikasi surat-surat kepemilikan warga terdampak. Tim ini sudah mulai bekerja mulai dari Desa Mardinding, Penan, Riaria, Sarilaba, Rumah Gerah dan seterusnya tanpa dihalangi oleh warga.
“Proyek Bendungan Lau Simeme ini tidak ada masalah sebenarnya. Masyarakat hanya menunggu komitmen pemerintah untuk menyelesaikan ganti rugi lahan yang terdampak. Setelah Satgas A dan B selesai bekerja mengumpulkan data dan diserahkan ke BPN Deliserdang untuk dicroscek kebenarannya, barulah tim appraisal (independent) menilai kelayakan harga tanah. Kemudian masyarakat dikumpulkan, jika kurang cocok harga yang ditentukan tim appraisal, masyarakat bisa menyanggahnya,” jelasnya.
“Mudah-mudahan harga yang diminta masyarakat masuk penilaian tim appraisal dan BWSS II segera membayarkan ganti rugi lahan warga. Kalau bulan enam ini gak ada juga titik temu pembayaran, masyarakat akan tanami kembali lahan-lahan mereka. Soalnya masyarakat juga butuh penghidupan. Lahan sudah terdampak proyek bendungan, ganti rugi gak dilakukan. Dari mana pendapatan warga untuk penuhi kebutuhan sehari-hari mereka,” pungkasnya.(wol/mrz/d2)
Editor: Rizki Palepi
Discussion about this post