“Itu cuma keinginan dan tafsir Saudara Hendry saja,“ tandas Wina, mantan Sekjen PWI Pusat 2003-2008 itu.
Wina Armada mengaku sebenarnya enggan konfrontasi masalah ini. Dikatakan, sebelumnya dia lebih mencari penyelesaian nyata, efektif, dan damai. Tapi berbagai informasi dan tudingan yang berat sebelah membuatnya mau angkat bicara.
“Anggap saja ini semacam hak jawab yang bersifat publik,” tuturnya.
Ikhwal AHU yang digadang-gadang Hendry untuk menunjukkan keabsahan kepengurusannya, lulusan Fakultas Hukum UI ini menjelaskan itu merupakan tipu daya dan jebakan. Pasalnya, AHU tersebut sejatinya saat ini sudah dan sedang dibekukan oleh Kemenkumham.
Wina mempersilakan pihak terkait mengecek langsung ke Dirjen AHU, agar tidak terjebak. Perhatikan saja dimensi waktunya. Disebutkan, Hendry mendaftarkan hasil pleno diperluas 9 Juli 2024, sedangkan pembekuan hasil pleno itu tertanggal 16 Juli 2024. Modal AHU yang sudah diblokir itu yang digunakan mengelabui Pemprov Kalimantan Selatan untuk jadi tuan rumah HPN 2025.
Hendry pun mencatut nama Presiden Prabowo Subianto, sejumlah menteri, dan Ketua MPR RI akan menghadiri acara tersebut. Faktanya, berbanding terbalik dengan kenyataan. Gubernur Kalsel saja tidak hadir pada acara peringatan HPN di Banjarmasin pada 9 Februari lalu.
“Jadi buat para mitra, mohon berhati-hati agar tidak menjadi korban bualan mengenai AHU,” tegas wartawan yang pernah mendapat beasiswa belajar hukum pers, politik, dan HAM di Amerika Serikat itu.
Berdasarkan hal itu, Wina melanjutkan Hendry sama sekali bukan korban, apalagi terkena fitnah, melainkan justru sebagai aktor utama.
“Dia mau menggunakan modus didzolimi sehingga diberi empati, tapi pemakaian strategi itu tidak tepat dan malah membuat dirinya banyak mengalami masalah,” tutur Wina lagi.
Konseptor sebagian besar regulasi di Dewan Pers ini mengungkapkan bersama Hendry sama-sama satu angkatan dalam karier kewartawanan. Tahun 1979, keduanya meniti pelatihan pers di Surat Kabar Kampus UI “Salemba” yang terkenal.
”Bedanya saya lulus waktu pendidikan pers saat itu, sedangkan dia tidak lulus, sehingga tidak diterima di Surat Kabar Kampus UI Salemba,” ungkap Wina.
Manakala terjadi perbedaan pendapat, tambah penulis banyak buku hukum dan etika pers, Hendry pernah memakinya di media sosial.
“Dia bilang soal saya, _nama kesohor tapi otak bego. Kala itu saya tak menanggapi ocehan itu, karena publik dapat menilai mana yang baik atau buruk,” paparnya.
Sebagai sahabat, Wina menilai sebaiknya Hendry legowo, sumarah, dan kontemplasi. Jangan dikuasai oleh nafsu angkara murka.
“Bagaimanapun sebagai sesama wartawan senior, kita tidak mengharap dia mendapat stroke apalagi gangguan jiwa. Sebaliknya dia tetap waras” kata Wina mengakhiri. (wol/aa/rls/d1)
Editor AUSTIN TUMENGKOL
Discussion about this post