Oleh: Prof. Zainal Arifin, MA
Pendahuluan
Waspada.co.id – Perdebatan utama atau batang mengenai kewajiban zakat profesi bermula dari pendapat Prof. Dr. Yusuf Qardhawi yang menganalogikan penghasilan profesi dengan hasil pertanian. Beliau berpendapat, jika hasil pertanian yang relatif kecil wajib dizakati, maka penghasilan profesi yang lebih besar juga seharusnya demikian. Namun, analogi ini ditentang oleh sebagian ulama salaf yang berpendapat bahwa tidak ada kias (analogi) dalam rukun Islam. Mereka memberi contoh sederhana, seperti tidak bolehnya menambah rakaat shalat Subuh atau jumlah shalat dalam sehari, meskipun kondisi fisik seseorang sangat kuat.
Mereka berpendapat: “Jika Allah berkehendak menetapkan rukun Islam berupa zakat pendapatan profesi dan jasa ini, tentu Dia sudah menetapkannya sejak awal Islam, tapi ini tidak Dia tetapkan. Sebaliknya, Dia menetapkan zakat harta (mal) yang tersimpan secara neto, sebagai wujud kemudahan dan kelapangan. Lakukanlah kemudahan yang telah diberikan Allah itu dan tidak perlu mempersulit muzaki dengan beban yang tidak dibebankan oleh Allah.”
Perbedaan Pendapat: Neto atau Bruto?
Perbedaan cabang berikutnya lahir dalam memandang zakat profesi dalam penerapannya. Salah satu contohnya adalah praktik pemotongan zakat profesi pada gaji Aparatur Sipil Negara (ASN) di Universitas Islam.
Perbedaan pendapat ini berkisar pada dua hal: Bruto. Pendapat yang menganalogikan dengan zakat hasil pertanian dan peternakan, di mana zakat dihitung dari penghasilan kotor, tanpa mengurangi utang atau kebutuhan pokok. Neto, pendapat yang menganalogikan dengan zakat perniagaan, di mana zakat dihitung dari penghasilan bersih setelah dikurangi utang dan kebutuhan pokok. BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) berdasarkan keputusan ketua No. 13 2025 cenderung mengambil penghasilan bruto bukan neto, atau merujuk kepada zakat hasil pertanian.
Yusuf Qardhawi sendiri dalam kitabnya Fiqh Az-Zakah berpendapat: “Bila pendapatan seseorang itu sangat besar dan kebutuhan dasarnya sudah sangat tercukupi, wajar bila dia mengeluarkan zakat 2,5% langsung dari pemasukan kotornya (bruto). Sebaliknya, bila pemasukan seseorang tidak terlalu besar, sementara kewajiban untuk memenuhi nafkah keluarganya lumayan besar, tidak apa-apa bila dia menunaikan dulu segala kewajiban nafkahnya sesuai dengan standar kebutuhan dasar, setelah itu sisa pemasukannya dizakatkan sebesar 2,5% kepada amil zakat (neto). Artinya, penggagas zakat profesi saja melihat potongan bagi ASN yang sederhana ini berdasarkan neto bukan bruto.
Persentase Zakat: 2,5%, 5%, atau 10%?
Perbedaan pendapat juga muncul dalam menentukan persentase zakat profesi. Ada yang menganalogikan dengan zakat hewan atau emas (2,5%), ada juga yang menentukan persentasenya berdasarkan pada hasil pertanian irigasi (5%), atau bahkan hasil tadah hujan (10%). Jika merujuk pada hasil bumi yang bruto, merupakan konsistensi untuk menggunakan persentasenya hasil bumi juga (5% atau 10%) bukan 2,5%. Karena profesi dan jasa tertentu lebih tidak menguras tenaga dibandingkan dengan petani, maka mereka layak dikenakan 10% atau bahkan 20% sebagaimana zakat rikaz.
Waktu Pembayaran: Bulanan atau Tahunan?
Dalam fikih Islam, zakat mal dikenakan setelah harta mencapai nisab dan haul (satu tahun). Namun, ada perbedaan pendapat mengenai waktu pembayaran zakat profesi. Sebagian ulama membolehkan pembayaran bulanan di awal tahun berjalan, seperti keputusan ketua Baznas No. 13 tahun 2025. Poin empat berbunyi: Zakat pendapatan dan jasa ditunaikan pada saat pendapatan dan jasa diterima dan dibayarkan melalui amil zakat resmi.
Sebagian lain berpendapat pembayaran dilakukan tahunan setelah haul hijriah, atau pada bulan setelah haul, untuk memastikan harta telah mencapai nisab. Karena dapat saja terjadi di tengah jalan pembayaran zakat terjadi masalah keuangan, hingga total nisab tahunan tidak tercapai.
Muzaki yang Memiliki Utang
Terdapat perbedaan pendapat mengenai kewajiban zakat bagi muzaki yang memiliki utang. Jika merujuk pada keputusan ketua BAZNAS bahwa pengeluaran zakat berdasarkan pendapat bruto, maka muzaki tetap harus membayar zakat. Namun jika merujuk kepada pendapat zakat emas dan niaga serta Yusuf Qardhawi, di mana nisab berdasarkan pendapatan neto, maka muzaki bebas dari kewajiban zakat. Karena, setelah dikurangi utang dan kebutuhan pokok, harta yang akan dizakati tidak mencapai nisab.
Penulis berpendapat, muzaki yang berhutang sama ada untuk kebutuhan primer ataupun hutang untuk keperluan sekunder dan tertier jika setelah dikurangi hutang tersebut tidak sampai nisab, maka tidak perlu membayar zakat profesi ataupun zakat harta.
Pemotongan Zakat: Wajib atau Sukarela?
Terdapat perbedaan pendapat mengenai pemotongan zakat profesi oleh pengelola zakat di kantor. Sebagian ulama membolehkan pemotongan wajib bagi muzaki yang telah memenuhi syarat tetapi enggan membayar zakat. Hal ini berdasarkan QS at-Taubah [9]: 103. Sebagian lain berpendapat pemotongan harus dilakukan dengan izin pemilik harta, karena tidak semua muzaki membayar zakat melalui amil resmi.
Boleh jadi muzaki membayar zakat langsung kepada 8 pos penerima zakat. Islam tidak membatasi bahwa zakat harus dan satu satunya tempat penyerahan pada badan amil zakat. Tidak, tapi hal itu boleh langsung diberikan kepada 7 pos lainnya: Fakir, Miskin, Amil, Mualaf, Hamba sahaya (riqab), Gharimin (punya hutang), Fisabilillah (apapun yang di jalan Allah: pejuang di medan perang, sekolah, pesantren, fasilitas umam, menerbitkan buku agama, dll), dan Ibnu Sabil.
Solusi Terbaik: Zakat Mal bukan Zakat Profesi sebagai Alternatif
Penulis berpendapat bahwa Allah SWT tidak mewajibkan zakat profesi karena zakat mal telah mencakup penghasilan profesi. Jika seorang karyawan memiliki harta atau emas yang tersimpan dalam bentuk neto dan mencapai nisab (85 gram), ia wajib membayar zakat mal sebesar 2,5% setelah haul. Pendapat ini dianggap sebagai solusi yang lebih jelas dan adil bagi ASN yang pendapatannya pas-pasan dan gajinya dipotong tanpa persetujuan.
Kesimpulan
Perdebatan utama mengenai keberadaan zakat profesi ada atau tidak, menimbulkan berbagai perbedaan pendapat cabang di kalangan ulama berikutnya. Penulis berpendapat bahwa zakat mal yang resmi ditetapkan Allah adalah yang terbaik. Ia sudah mencakup penghasilan zakat profesi. Zakat profesi ini muncul pertama kali oleh ide Yusuf al-Qardhawi yang bersumber dari ijtihad dan kias. Sehingga menurut penulis, zakat profesi tidak wajib.
Jika penghasilan neto seorang pegawai telah mencapai nisab dan haul, ia wajib membayar zakat mal sebesar 2,5%. Inilah kata ulama di kampung kami dalam kajian zakat mal sebagaimana tertulis di buku-buku fikih. Wallahu a’lam.
*Ketua OIAAISU Alumni Azhar Internasional di Indonesia Sumut
Discussion about this post