MEDAN, WOLÂ – Lambannya Poldasu (Kepolisian Daerah Sumatera Utara) menuntaskan penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan lahan terminal truk di KM 3, Desa Huta Barusjahe, Sibolga Utara, senilai Rp1,3 miliar, yang diduga melibatkan Syarfi Hutauruk, mantan Wali Kota yang juga calon incumbent di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Sibolga, 9 Desember 2015 mendatang, menuai reaksi keras dari masyarakat.
Menurut Pengamat Kebijakan dan Anggaran Sumut, Elfenda Ananda dalam penuntasan kasus tersebut yang utamanya harus melihat aspek hukum. Sebaiknya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan maupun kepolisian harusnya sama.
Dikatakan, dalam perspektif hukum tidak boleh menimang-nimang dan jangan mencampuradukkan dengan politik.
Dia mencontohkan, KPK tegas dalam penetapan tersangka dan penahanan Saleh Bangun, dimana dia (Saleh Bangun, red) merupakan salah satu calon kepala daerah di Pilkada Binjai. Dengan demikian, polisi (Poldasu, red) juga harus bertindak demimikan terhadap Syarfi Hutauruk termasuk calon kepala daerah lainnya.
“Kalau sengaja memperlambat dan ‘menimang-nimang’ kasus itu, indikasinya berarti polisi ‘main mata’,” tutur Elfenda Ananda, kepada wartawan, Senin (16/11).
Dalam upaya penuntasan kasus dugaan korupsi yang melibatkan kepala daerah, Elfenda menuding polisi terkesan bermain politik.
“Dari perbandingan kasus di KPK (Saleh Bangun, red) dan kepolisian dalam hal ini Poldasu (Syardi Hutauruk, red), ada aspek politis. Yakni, proses hukum ini dijadikan alat bargaining. Agar proses pemerintahan bisa berjalan baik ketika nantinya terpilih. Politik mengedepankan kepentingan politik. Kemudian adanya dugaan ‘main mata’, memang pasti sepanjang proses hukum dijalankan dua hal tadi. Jika tak diproses akhirnya dugaan masyarakat mengarah ke sana,” terangnya lagi.
Mantan Direktur Eksekutif Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Sumut ini, partai politik (parpol) pengusung Syarfi Hutauruk di Pilkada Sibolga, terkesan hanya mengedepankan ‘setoran’ tanpa mempertimbangkan persoalan hukum yang akan membelenggu kandidatnya itu.
“Secara umum, sebenarnya aspek penegakan hukumnya sama. Kita mendorong, supaya untuk profesional. Proses politik yang sekarang ini, menunjukkan kalau parpol itu tak bertanggung jawab. Jangan hanya melihat aspek ‘setoran’ besar. Apa yang terjadi di Sumut sekarang ini adalah kontribusi dari parpol-parpol.
Harusnya rekrutmen dengan selektif. Baik dari proses hukum, prilaku dan macam-macam. Harusnya ini tidak terjadi lagi. Jangan calon yang bermasalah (Syarfi Hutauruk, red). Akan menimbulkan masalah bila terpilih nanti.
Jangan hanya ingin menang saja, dengan mengesampingkan masalah,” tukasnya.
Di sisi lain, Wakil Direktur (Wadir) Pusat Study Hukum dan Pembaharuan Peradilan (PusHpa) Sumut, Nuriono dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Surya Adinata, berpendapat sama.
Keduanya menilai, tidak adanya kepastian hukum atas kasus dugaan korupsi lahan terminal truk di Sibolga itu, sama halnya akan membuat Syarfi Hutauruk tersandera.
“Pada dasarnya, calon-calon terduga tersangka itu butuh kepastian hukum. Jika terus sengaja diperlambat, ini sama halnya kepolisian menyandera si calon terduga tersangka itu. Nah bukan mustahil ini juga jadi ajang bargaining antara polisi sama terduga tersangka itu. Apalagi kasus-kasus yang melibatkan kepala daerah ini, nantinya akan menimbulkan masalah baru jika saja si calon kepala daerahnya, menang Pilkada. Seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menetapkan tersangka dan menahan Saleh Bangun, yang kita tahu kalau Saleh Bangun adalah salah satu calon Walikota Binjai.
Dengan begitu, masyarakat Binjai tidak lagi bertanya-tanya siapa yang akan dipilih. Harusnya, Poldasu juga seperti itu dalam menangani kasus di Sibolga itu,” ungkap Nuriono.
“Oh, itu dia (Syarfi Hutauruk, red) ada penyelidikannya di Poldasu. Kalau begini, itu calon atau orang yang diduga akan menjadi tersangka sudah tersandera. Intinya, calon-calon tersangka itu butuh kepastian hukum. Apalagi momen jelang Pilkada, kasus-kasus yang diduga melibatkan calon kepala daerah harusnya segera dituntaskan. Kalau memang tidak cukup bukti dan sebagainya, di SP3 kan. Biar jelas status hukumnya. Jangan membuat masyarakat di daerahnya bingung.
Misalnya, saat Pilkada masyarakat memilihnya (Syarfi Hutauruk, red) dan ternyata menang. Lantas baru ditetapkan tersangka dan ditahan, kan jadi muncul masalah baru. Kalau seperti KPK yang menahan Saleh Bangun, itu lebih tepat karena tidak membuat bingung masyarakat Binjai,” ucap Direktur LBH Medan, Surya Adinata.
Sebelumnya, Kasubdit III/Tipikor Poldasu, AKBP Frido Situmorang mengemukakan, pihaknya akan segera melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap oknum yang diduga terlibat kasus pengadaan lahan terminal di Sibolga tersebut.
“Untuk pemanggilan dan pemeriksaan terhadap siapa yang diduga terlibat akan kita lakukan dalam jangka waktu dekat, karena oknumnya saat ini masih ikut jadi calon Walikota Sibolga (Syarfi Hutauruk, red). Ya, dia calon incumbent di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Sibolga,” ungkap Kasubdit III/Tipikor Poldasu, AKBP Frido Situmorang, ketika dikonfirmasi wartawan, Rabu (11/11) siang lalu.
Dijelaskannya, sejauh ini pihaknya masih menunggu hasil pengukuran ulang terhadap objek perkara (lahan terminal, red) yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional (BPN). “Saat ini kita masih nunggu hasil dari pengukuran dari BPN, nanti akan disinkronkan sama Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Setelah itu nanti akan diekspos dan baru dilakukan proses pemanggilan dan pemeriksaan, kemudian dilakukan gelar perkara,” terangnya.(wol/roy/data1)
Editor: HARLES SILITONGA
Discussion about this post