JAKARTA, WOLÂ – Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) telah membangkitkan ingatan publik pada suasana era Orde Baru selama 32 tahun. Atas nama demokrasi, SE ini harus dicabut dari peredaran.
Desakan pencabutan SE Kapolri tentang Ujaran Kebencian terus mengemuka baik dari kalangan parlemen maupun masyarakat sipil. SE Kapolri dinilai berlebihan dan missleading. Tidak sekadar itu, SE Kapolri ini membangkitkan ingatan publik atas nuansa Orde Baru yang mengekang sikap kebebasan masyarakat.
Anggota Komisi I DPR RI Saifullah Tamliha menolak keras SE Kapolri tentang Ujaran Kebencian tersebut. Menurut dia, atas nama kebebasan berpendapat SE tersebut harus dicabut. “Toh sudah ada payung hukum, kan sudah ada KUHP. Tidak perlu diatur dalam SE, akhirnya menjadi bias. Ini berlebihan,” ujar Saifullah ditemui di gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Rabu (4/11).
Lebih dari itu, Saifullah menilai, SE Kapolri ini justru memberi dampak negatif terhadap pemerintahan Jokowi. Karena SE Kapolri ini, sebut Saifullah membawa ingatan publik atas suasana Orde Baru dulu. “Ini efeknya negatif ke Jokowi. Ini seperti kembali ke Orde Baru,” cetus politisi PPP ini.
Menurut dia, reformasi 1998 silam salah satu tuntutan di antaranya dilakukan dwifungsi ABRI/TNI yang memberi dampak adanya reformasi internal di tubuh TNI. “Jangan sampai TNI sudah melakukan reformasi, malah Polri kontraproduktif. Kita jangan setback,” tandas aktivis muda NU ini.
Hal senada ditegaskan aktivis pro demokrasi Uchok Sky Khadafy yang menilai SE Kapolri telah mengekang kebebasan berpendapat masyarakat. Ia menilai SE tersebut telah membungkam demokrasi yang dipilih republik ini pada reformasi 1998 silam. “Polisi sudah menjelma menjadi tentara seperti era 80-an yang sok berkuasa akhirnya hancur juga,” tegas Uchok yang juga Direktur Centre for Budget Analysis (CBA) di Jakarta, Rabu (4/11).
Uchok juga menilai SE Kaporli ini tak lebih sebagai upaya cari muka Kapolri kepada Presiden. Dia menyarankan agar polisi tidak over acting dengan menerbitkan SE Kapolri. Dia meminta agar SE tersebut dicabjt. “Saya meminta agar surat edaran tersebut segera dicabut karena melanggar hak azasi manusia (HAM). Kalau polisi tidak mau mencabut, diminta presiden Jokowi untuk segera mencopot Kapolri sebelum jabatan selesai karena membuat keresahan di publik,” tandas Uchok.
Sementara Direktur Eksekutif SNH Advocacy Center Sylviani Abdul Hamid menilai SE Kapolri mirip dengan Undang-undang Nomor 11/PNPS/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi yang telah dicabut pada masa awal reformasi.
“Mirip dengan Undang-undang Subversi, tetapi berbeda order. Kalau Undang-undang Subversi jelas ordernya dari pemerintah, kalau SE Kapolri ada dugaan didorong kelompok tertentu, karena di dalamnya tidak membahas tentang garis vertikal (masyarakat dan pemerintah), akan tetapi menerangkan tentang pencegahan konflik horizontal,” ujar Sylvi melalui siaran pers yang diterima, Rabu (4/11). (inilah/data1)
Discussion about this post