JAKARTA , WOL – Wacana perombakan kabinet yang hangat dalam beberapa pekan terakhir pada akhirnya menguji kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hak prerogatif yang dimiliki secara eksklusif Presiden diuji apakah hak itu dimiliki penuh atau justru terbagi-bagi ke berbagai pihak.
Rencana perombakan kabinet kerja terkatung-katung tak jelas kapan pelaksanaannya. Padahal, berbagai pertemuan telah berkali-kali digelar antara Presiden dengan pihak-pihak yang berkepentingan.
Sayangnya, sinyal yang muncul dari Istana tak kunjung menjadi titik terang reshuffle kabinet. Alih-alih momentum ini sebagai pembuktian sistem presidensial, namun justru isu reshuffle justru menyandera Presiden.
Pemerhati politik dari Universitas Indonesia Agung Suprio mengatakan isu reshuffle yang menggelinding sejak Oktober tahun lalu hingga saat ini pada akhirnya menjadikan kerja kabinet dan birokrasi tidak fokus. “Ini saya melihat presidensial yang banci,” kata Agung dalam sebuah diskusi di gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Jumat (15/4).
Menurut dia, semestinya dalam perombakan kabinet harus dibuat indikator dalam menentukan pergantian menteri. Menurut dia, perombakan kabinet jangan berbasis pada pertimbangan politik. “Yang utama, karena ketidaktegasan Jokowi JK sehingga (reshuffle) terkatung-katng,” cetus Agung.
Sementara sejumlah pandangan politisi di parlemen sepakat tentang hak prerogatif presiden dalam merombak kabinet. Namun, bila pun perombakan dilakukan harus fokus dalam rangka meningkatkan kinerja kabinet. “Masalah koordinasi yang lemah antarmenteri, serta ego sektoral menjadi catatan kritis terhadap kabinet kerja ini,” kata anggota Fraksi PPP DPR RI Arwani Thomafi.
Anggota Fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu juga senada mengatakan di internal kabinet tidak bekerja secara kompak. Ketidakkompakan itu lantaran terjadinya benturan kepentingan antara kepentingan nasional (national interest) dengan kepentingan bisnis.
“Nah, yang gaduh-gaduh itu terlihat. Padahal Nawacita itu untuk menjamin negara melindungi kepentingan rakyatnya. Kalau yang mementingkan kepentingan bisnis itu Nawacita gadungan,” tegas Masinton.
Menurut dia, Presiden Jokowi membutuhkan panduan perencanaannya dalam memerintah. Dia menegaskan kebangkitan suatu negara bukan karena faktor presidennya namun karena haluan negaranya. “Bagi PDIP Presiden butuh panduan dalam perencanaannya,” tandas bekas aktivis 1998 ini.
Rencana perombakan kabinet kali ini jelas menguji Jokowi dari berbagai aspek mulai soal leadershipnya, negosiasi dan visinya dalam mempertegas Nawacita yang dalam Pilpres 2014 lalu menjadi janji politik di hadapan rakyat. Semakin lama proses reshuffle dilakukan semakin Jokowi disandera oleh proses politik yang ia ciptakan sendiri. Jargon “kerja, kerja, kerja” akhirnya hanya efektif di atas kertas saja.(inilah/data1)
Discussion about this post