JAKARTA, WOL – RUU Penyelenggaraan Pemilu resmi dikirim dari pemerintah ke DPR. Sejumlah isu krusial bakal menjadi materi pembahasan antara DPR dan pemerintah. Menariknya, konsepsi sistem pemilu yang menjadi usulan pemerintah berbeda dengan usulan PDI Perjuangan. Bagaimana partai penguasa berbeda paham dengan presiden yang diusung?
Satu poin yang mengemuka dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu yang merupakan gabungan dari tiga regulasi sekaligus yakni UU Penyelenggara Pemilu, UU Pemilu Legislastif dan UU Pemilu Presiden, yakni soal pilihan sistem pemilu yang diambil.
Bila merujuk draf RUU Penyelenggaraan Pemilu yang merupakan inisiatif pemerintah disebutkan pemerintah mengusulkan sistem pemilu yang ditempuh dalam Pemilu 2019 mendatang adalah sistem proporsional terbuka terbatas. Hal ini dapat dilihat di Pasal 138 ayat (2) yang disebutkan “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupate/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka terbatas”.
Di ayat berikutnya yakni di ayat 3 disebutkan penjelasan tentang proporsional terbuka terbatas yakni sistem pemilu yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka dan daftar nomor urut calon yang terikat berdasarkan penetapan partai politik.
Ketua DPP PDI Perjuangan Andreas Hugo Pariera justru mempertanyakan istilah proporsional terbuka terbatas yang tertuang dalam draf RUU Penyelenggaraan Pemilu. Menurut dia, istilah tersebut melenceng dari model standar dunia. “Terbuka terbatas itu yang kaya bagaimana,” kata Andreas kepada wartawan, Rabu (26/10).
Dia menyebutkan PDI Perjuangan memilih sistem proprosional tertutup dengan tujuan penguatan kelembagaan partai dan memperkuat keterwakilan anggota DPR yang kelak terpilih dalam Pemilu. Menurut dia, efek dari sistem ini yang terjadi kontestasi antarpartai. “Peserta Pemilu itu partai politik bukan individu. Itu sesuai dengan konstitusi,” tegas Andreas.
Andreas menyebutkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pemilu 2004 lalu terkait dengan sistem pemilu yang ditempuh satu sisi menerapkan nomor urut partai namun di sisi lain menerapkan prinsip suara terbanyak sebesar 30 persen dari Bilang Pembagi Pemilih (BPP). “Itu yang dinilai Mahkamah Konstitusi (MK) tidak konsisten, kita pakai terbuka, tapi juga dengan daftar urut,” tegas Andreas.
Sikap politik PDI Perjuangan yang berbeda dengan draf RUU Penyelenggaraan Pemilu versi pemerintah ini tentu menimbulkan tanda tanya besar. Semestinya, pemerintah dan partai pendukung utama memiliki kesamaan sikap dalam pilihan politik terlebih dalam urusan RUU Penyelenggaraan Pemilu yang cukup vital dan urgen ini. (inilah/data1)
Discussion about this post