Catatan Armin Nasution
SEJAK Cahyo Pramono tak lagi menjabat sebagai general manager Niagara Hotel Parapat beberapa tahun lalu, saya berfikir bahwa obyek wisata di sekitar Danau Toba tak akan hidup lagi. Saya sempat underestimate memikirkan keberlanjutan pengembangan kawasan Danau Toba. Sebab Niagara Hotel di Parapat itu menjadi representasi pengembangan industri kawasan tersebut.
Bahkan Cahyo juga lah dulu yang sering keluar mengkampanyekan Danau Toba. Karena itu pula-lah sudah lebih dari 5 tahun saya tidak pernah berwisata ke Parapat. Baik itu menikmati fasilitas hotel atau pun turun ke danau. Apalagi banyak sekali pemberitaan negatif soal tercemarnya air danau. Ketika pulang kampung ke Sidimpuan pun saya tak pernah mau menyinggahkan kaki di Parapat.
Namun dugaan awal tersebut terbukti tidak benar. Sekitar tiga tahun lalu ketika Musda Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) wilayah Sumut akan digelar saya bertemu dengan Puguh Adrianto dan Minawati Njo. Ternyata Puguh ini sosok pengganti Cahyo yang disupport marketing manager Minawati Njo.
Di awal pertemuan pun saya masih sedikit ragu kalau dibawah Puguh gaung Danau Toba dan Parapat akan lebih kencang. Apalagi tahun lalu saat Musda PHRI Sumut yang digelar di Santika Hotel, Gubsu HT Erry Nuradi sempat menyindir soal fasilitas dan tempat wisata di Parapat.
“Saya kira kita malu ya kalau bepergian ke Parapat. Hotel yang ada di sana itu harusnya disertifikasi ulang. Banyak hotel yang tempat tidurnya sudah tak diganti 20 tahun. Dindingnya lapuk dan bau. Kita semua harus peduli dengan Danau Toba tentu dengan mengedepankan pelayanan. Malu kita kalau tempat penginapan seperti itu,†kata Erry kala itu.
Tapi sepertinya angin baik memang sedang menuju ke Danau Toba dan Parapat. Bagaimana tidak, pemerintah pusat sudah menjadikan Danau Toba sebagai destinasi utama wisata untuk mendorong pertambahan jumlah kunjungan Wisman hingga 2019 sebanyak 20 juta orang. Di sisi lain, letusan Gunung Sinabung yang terjadi berulang-ulang sempat mengalihkan wisatawan lokal yang selama ini ke Berastagi beralih ke Parapat.
Belum lagi rampungnya tol Medan-Tebing Tinggi sebagai akses menuju Danau Toba. Padahal ketika pertamakali bertemu dengan Puguh Adriyanto, dia sempat berujar: Bang kalaupun misalnya wisatawan lebih banyak tinggal di Medan selama 3-4 hari tak apa, aku cuma minta tolong mereka mau datang ke Danau Toba walau sehari saja.
Apa yang disampaikannya mulai mendekati kenyataan. Pemerintah pusat mendukung pengembangan Parapat dengan dibentuknya Badan Otorita Danau Toba, lalu tidak stabilnya status Gunung Sinabung mengalihkan tujuan wisatawan lokal, ditambah lagi perbaikan infrastruktur.
Walaupun perbaikan dan dorongan pengembangan Danau Toba sudah sekuat itu tapi tetap saja dalam fikiran saya tak berminat berkunjung ke sana. Sampai kemudian di awal bulan ini Lembaga Sertifikasi Hotpari Medan menugaskan saya dan para asesor lain untuk menguji kompetensi karyawan hotel dan restoran di sekitar Parapat.

Selasa (5/9) sore, kami berangkat dari Pematang Siantar karena sebelumnya melakukan uji kompetensi di SMK Negeri 3 Pematang Siantar, menuju Parapat dan langsung ke Niagara. Tiba sekira pk.17.30 rombongan disambut langsung Puguh.
“Selamat datang bang, ketemu juga kita di sini,†katanya. Bercerita panjang, dia lalu menjelaskan tentang potensi wisata Danau Toba. “Cara memandang danau ini ada dua,†kata dia. “Pertama wisatawan yang ingin langsung turun ke Danau Toba dan menyentuh airnya. Kedua, wisatawan yang menginginkan view atau pemandangan. Nah karena Niagara ini jauh dari danau maka yang diutamakan adalah pemandangan,†katanya.
Setelah berdialog, saya kemudian secara perlahan memperhatikan kondisi sekitar Niagara. Ternyata ada banyak perubahan. Interior kamar sudah cukup memadai. Kemudian seperti kolam renang dan fasilitas lain pun masih terpelihara dengan baik. Bahkan di kolam renang seperti punya sendiri, karena saat itu pagi dan sore hanya saya yang berenang.
Namun ada satu hal penting yang kini berubah di pusat wisata tersebut. Niagara sepertinya tak lagi mengandalkan obyek pemandangan saja. Tapi kini sudah ditambah dengan berbagai aktivitas hotel.
Mereka kini menyediakan flying fox sepanjang 420 meter terpanjang di Sumatera. Dengan flying fox ini, pengunjung bisa berselancar di udara sambal melihat pemandangan Danau Toba. Selain itu ada lagi olahraga memanah yang disiapkan kepada tamu. Bahkan bulan depan di tempat ini akan ada sepeda gantung dan rumah pohon yang semuanya berlatar Danau Toba. Tahun depan masih ditambah high rope dan paint ball.
Semua aktivitas belum termasuk beberapa obyek wisata yang bisa dikunjungi sekitar Parapat. Misalnya air terjun, Batu Gantung, rumah pengasingan Bung Karno, Ajibata, Sibagandang dan lain-lain.
“Begini. Kami sekarang harus lebih kreatif. Kita tidak bisa lagi hanya menampilkan view Danau Toba atau obyek wisata lain. Harus ada aktivitas yang melibatkan tamu. Kalaupun mereka tak ke danau tapi ada kegiatan yang membuat mereka betah berlama-lama untuk tinggal,†tuturnya.
Niagara memang hanya potret wisata lokal yang terus berbenah menyambut Danau Toba sebagai destinasi utama wisata. Apalagi para pelaku obyek wisata dan industri di kawasan itu dituntut menyambut tamu lokal dan mancanegara.
Apalagi Sumut punya target besar mendatangkan 1 juta wisatawan hingga 2019. Padahal sampai Mei 2017 saja kecenderungan kunjungan wisatawan asing malah menurun. Pada periode tersebut, Sumut hanya dikunjungi 20.080 wisman turun 1,64 persen dibanding bulan sebelumnya.
Menurut Kepala BPS Sumut Syech Suhaimi, penurunan jumlah wisman Mei 2017 terutama melalui pintu masuk Kualanamu. Dari Januari sampai Mei 2017 jumlah kunjungan wisatawan sudah mencapai 99.954 atau naik 21,70 persen dibanding tahun 2016, katanya.
Melihat kondisi itulah para pelaku bisnis di obyek wisatawa Danau Toba terus berbenah, menyambut perubahan dan memunculkan kreativitas membuat wisatawan lebih nyaman. Bukankah apa yang dilakukan Puguh misalnya bentuk kreativitas? Ketika pengunjung tak menyentuh langsung Danau Toba tapi mereka bisa menikmati aktivitas lain berlatar view Danau Toba? (**)
Â
Discussion about this post