JAKARTA, WOL – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuliskan sebuah catatan bertajuk “Mempermasalahkan Utang” sebagai respons atas perhatian politikus, ekonom, dan masyarakat perihal kondisi utang pemerintah belakangan. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, hingga akhir Februari 2018, utang pemerintah pusat mencapai Rp 4.034,8 triliun.
Menurut Sri Mulyani, perhatian luar biasa ini karena isu ini dibuat dan diperdebatkan seolah-olah Indonesia sudah berada dalam kondisi krisis utang. Imbasnya, masyarakat via media sosial pun terpengaruh dan sibuk membicarakannya.
“Sebagai menteri keuangan dan pengelola keuangan negara, perhatian elite politik, ekonom, dan masyarakat terhadap utang tentu sangat berguna untuk terus menjaga kewaspadaan agar apa yang dikhawatirkan, yaitu terjadinya krisis utang, tidak menjadi kenyataan,” ujar Menkeu, di Jakarta, kemarin.
Namun, menurut dia, semua pihak perlu mendudukkan masalah agar masyarakat dan elite politik tidak terjangkit histeria dan kekhawatiran berlebihan yang menyebabkan kondisi masyarakat menjadi tidak produktif. Kecuali, ia menambahkan, kalau memang tujuan mereka yang selalu menyoroti masalah utang adalah untuk membuat masyarakat resah, ketakutan, dan menjadi panik untuk kepentingan politik tertentu.
“Upaya politik destruktif seperti ini sungguh tidak sesuai semangat demokrasi yang baik dan membangun,” kata Sri Mulyani.
Dalam penjelasan yang terdiri atas 12 poin itu, Sri Mulyani membahas utang dari berbagai sudut. Dimulai dari utang merupakan salah satu instrumen kebijakan dalam pengelolaan keuangan negara dan perekonomian. Kemudian, perihal perbandingan nominal utang dengan belanja modal atau bahkan belanja infrastruktur, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB), defisit APBN, dan posisi keseimbangan primer. Semua dalam kondisi aman.
Sri Mulyani juga menjelaskan, kebijakan utang dalam APBN ditujukan untuk membantu membangun pendalaman pasar keuangan dan obligasi di dalam negeri. Kehati-hatian dalam menggunakan instrumen utang, penyesuaian tujuan pembangunan dengan menjaga APBN tetap kredibel, disiplin fiskal, serta dampak pembangunan infrastruktur dan perbaikan pendidikan dan kesehatan serta jaminan sosial juga dibahas.
Dalam dua poin terakhir, Sri Mulyani menegaskan sorotan terhadap instrumen utang tanpa melihat konteks besar dan upaya arah kebijakan pemerintahan jelas memberikan kualitas analisis dan masukan yang tidak lengkap dan bahkan dapat menyesatkan.
“Kita juga tidak akan mampu melihat permasalahan dan potensi ekonomi Indonesia. Lebih buruk, kita dapat mengerdilkan pemikiran dan menakut-nakuti masyarakat untuk tujuan negatif bagi bangsa kita sendiri. Itu bukan niat terpuji tentunya,” kata Menkeu.
Lebih lanjut, menutup penjelasannya, Sri Mulyani memastikan aspek-aspek yang disampaikan berbagai pihak yang peduli mengenai utang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah. Sebagai Menkeu, dia menyampaikan terima kasih atas berbagai analisis, masukan, bahkan kritikan yang bertujuan untuk menjaga kesehatan keuangan negara dan memperbaiki kebijakan pemerintah untuk mencapai tujuan pembangunan sesuai cita-cita kemerdekaan.
Dorong domestik
Konsultan Asian Development Bank (ADB) Institute Eric Sugandi menilai, pemerintah perlu mendorong porsi kepemilikan surat berharga negara (SBN) dari domestik. Ia mengaku, dominasi kepemilikan asing bisa berisiko pada stabilitas perekonomian Indonesia.
“Ketika ada gejolak eksternal, investor (asing) itu keluar dan bisa mengganggu nilai tukar rupiah,” ujar Eric, Jumat (23/3).
Dari utang pemerintah pusat Rp 4.034,8 triliun, komposisi utang pemerintah terdiri atas pinjaman sebesar 777,54 triliun atau 19,27 persen dari total utang. Sementara, SBN mendominasi dengan nilai Rp 3.257,26 triliun atau 80,73 persen. Eric mengatakan, sebesar 40 persen SBN dimiliki oleh investor asing.
Menurut Eric, level kepemilikan asing dalam SBN tersebut tetap menyimpan risiko, terutama jika terjadi guncangan eksternal. Salah satu risiko adalah arus dana keluar meninggalkan Indonesia dan bisa memperlemah nilai tukar rupiah.
“Kalau nilai tukar melemah, upaya pemerintah membayar utang dalam nilai rupiah akan menjadi lebih besar,” ujar Eric.
Ia mengaku, berdasarkan data ADB Bonds, nilai kepemilikan asing pada obligasi pemerintah di Indonesia relatif tinggi jika dibandingan negara lain di Asia Tenggara. Ia menyebut, porsi kepemilikan asing terhadap total obligasi Pemerintah Malaysia adalah 30 persen pada akhir 2017.
Sementara, porsi kepemilikan asing terhadap total obligasi Pemerintah Thailand adalah 15 persen hingga akhir September 2017. Porsi kepemilikan asing terhadap total obligasi Cina bahkan hanya 3,5 persen karena menerapkan kebijakan kontrol modal.
“Porsi asing ini berkurang bukan dengan dipaksa. Pemerintah bisa mendorong lembaga keuangan domestik, seperti dana pensiun dan asuransi untuk masuk. Termasuk ritel juga perlu didorong,” ujar Eric.
Ia menilai, posisi utang pemerintah yang berada pada level 29,24 persen terhadap PDB masih aman. Meski begitu, ia mengimbau pemerintah untuk tidak semakin cepat mengobral utang.(republika/data1)
Discussion about this post