
BACHARUDDIN Jusuf Habibie menyebut hubungannya dengan Soeharto tak terganggu, meski beragam spekulasi muncul setelah ia menjadi presiden, menggantikan Soeharto yang mundur pada 21 Mei 1998. Habibie menjadi presiden Indonesia ketiga, posisi yang ia sebut tak pernah ia inginkan.
“Saya tidak ada masalah dengan Pak Harto dan seluruh keluarganya.”
“Saya tidak pernah berencana menjadi menteri, apalagi presiden. Saya hanya ingin jadi guru besar konstruksi pesawat terbang,” ujar Habibie di Jakarta, Senin 21 Mei 2018.
Habibie menuturkan, setelah pemilu 1997, ia mengatakan kepada Soeharto agar tak ditunjuk menjadi menteri atau anggota kabinet. Sejak 1978 hingga saat itu, Habibie menjabat menteri negara urusan riset dan teknologi.
Pada saat yang sama, Habibie juga memegang beragam jabatan lain, termasuk orang nomor satu di Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi (BPPT). “Saya permisi (kepada Soeharto), sudah 20 tahun jadi menteri dan lima tahun jadi penasehat,” kata dia.
“Istri saya yang selalu mendampingi dan mengilhami saya sedang sakit, jadi saya harus meletakkan semua jabatan,” lanjutnya.
Namun Soeharto tak mengiyakan atau menolak permintaan tersebut. “Nanti kita lihat perkembangannya,” kata Habibie mengulang perkataan Soeharto.
Habibie menyebut Soeharto hanya memintanya menjadi pendulang suara bagi Golkar pada Pemilu 1997. Alasannya, kata dia, produksi pesawat terbang dalam negeri yang diinisiasinya mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat.
“Ternyata benar. Golkar saat itu menang tinggi sekali,” tuturnya.
Berdasarkan perhitungan Komisi Pemilihan Umum, kala itu Golkar meraup 74,51% suara. Partai Persatuan Pembangunan (22,43%) dan Partai Demokrasi Indonesia (3,06%) berturut-turut berada di peringkat berikutnya.
Ingin pensiun dan ke Jerman
“Saya kira saya sudah bebas. Saya berencana ke Jerman, mau menulis buku, ternyata saya jadi wapres. Baru dua bulan menjabat, presiden lengser,” ucapnya.
Maret 1998, MPR melantik Soeharto dan Habibie menjadi presiden dan wakil presiden. Pada 21 Mei di tahun yang sama, Soeharto menyatakan mengundurkan diri setelah berbagai persoalan dan situasi politik, ekonomi, dan keamanan mendera Indonesia.
Beberapa saat sebelumnya, Habibie baru ditunjuk menjadi ketua keluarga besar Golkar. Ia memimpin tiga kelompok besar penyokong Golongan Karya yang dikenal dengan istilah ABG, yaitu ABRI (sekarang TNI), birokrat (pegawai negeri sipil), dan Golkar.
“Ketua keluarga besar Golkar yang ditunjuk adalah saya, ketua pengganti tidak ada. Saya sendirian.”
“Eksekutif satu orang, itu yang saya pegang. Saya mengendalikan 74% suara Golkar di DPR, itu tidak sehat,” kata Habibie.
Melansir DetikX, buku terbitan Institut Studi Arus Informasi pada 1999 berjudul ‘Golkar Retak?’ menyebut tentang pembentukan kelompok di internal partai beringin yang mempersiapkan pemimpin masa depan.
Habibie disebut merupakan sosok yang masuk kriteria tersebut. Kepada penulis buku itu, seorang menteri di Kabinet Pembangunan VI yang tak ingin disebut namanya, mengatakan Habibie pernah menyatakan presiden Indonesia berikutnya harus dari kalangan sipil.
Sang menteri juga menyebut enggan mengikuti pertemuan kelompok kecil di Golkar itu. Ia beralasan, pembicaraan pemimpin masa depan dapat dituduh subversif atau melawan pemerintah yang sedang berkuasa.
Melansir Kompascom, jelang mundurnya Soeharto, terdapat 14 menteri yang meneken surat pernyataan berisi penolakan untuk masuk ke kabinet reformasi.
Menteri Keuangan kala itu, Fuad Bawazier, mengklaim mendapat kabar Habibie pun akan mengundurkan diri seiring penolakan yang kian membesar terhadap Soeharto.
Dalam buku autobiografinya tahun 2006 berjudul ‘Detik-detik yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi‘, Habibie membantah isu tersebut. “Isu tersebut tidak benar. Presiden yang sedang menghadapi permasalahan multikompleks tidak mungkin saya tinggalkan. Saya bukan pengecut,” tulis Habibie.
Masa kepresidenan Habibie berusia 15 bulan. Pada Oktober 1999 ia digantikan Abdurrahman Wahid melalui pemilihan presiden di MPR yang didahului pemilu.
Discussion about this post