JAKARTA, Waspada.co.id – Pada pertemuan dengan Cak Nur dan Saadilah Mursyid, 18 Mei malam, Soeharto berjanji akan mengundurkan diri dalam waktu dekat. Namun, sebelum menanggalkan jabatan, dia ingin bertemu dengan tokoh-tokoh masyarakat.
Mereka antara lain Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Ahmad Bagja, Ali Yafie, Anwar Harjono, Emha Ainun Nadjib, Ilyas Rukhiyat, Ma’ruf Amin, Malik Fadjar, Soetrisno Muhdam. Selain kesembilan orang itu, Saadilah juga ingin Cak Nur turut ikut. Cak Nur pun ingin mengajak satu orang lagi, yakni Yusril Ihza Mahendra karena merupakan ahli hukum tata negara.
Yusril Ihza Mahendra yang saat itu menjadi anak buah Saadilah Mursyid dan punya kedekatan dengan Soeharto menjelaskan bahwa orang nomor satu di Indonesia sebetulnya memang sudah siap mundur. Namun, kata Yusril, Soeharto cemas kekacauan bakal terjadi jika dirinya mengundurkan diri saat itu juga.
Karena itulah Soeharto ingin membentuk semacam tim transisi yang dinamai Komite Reformasi dan bertugas mendampinginya dalam memulihkan kondisi sosial ekonomi Indonesia.

‘Wali Songo’ sebetulnya tidak setuju dengan ide Komite Reformasi. Terjadi tarik menarik pendapat yang cukup alot. Hingga kemudian, Cak Nur meminta Soeharto agar tidak mengikutsertakan seluruh tamu yang diundang itu menjadi anggota Komite Reformasi. Soeharto sedikit kaget.
Cak Nur lalu menjelaskan bahwa kehadiran sembilan tokoh Islam ke Istana berada dalam posisi dicurigai masyarakat. Sebab, para tokoh ini sebelumnya dikenal kritis terhadap Soeharto selama krisis mulai melanda. Jika setuju menjadi bagian Komite Reformasi, lanjutnya, masyarakat dipastikan mencap mereka sebagai penjilat kelas kakap dan antek-antek Cendana.
“Kalau nanti Pak Harto memasukkan kami dalam komite atau pun kabinet yang di-reshuffle, kami menjadi seperti rupiah, kurs kami jatuh,” tutur Cak Nur mengutip biografi Nurcholish Madjid, Api Islam, Jalan Hidup Seorang Visioner (2010:277).
Penolakan terhadap Komite Reformasi ini pun bukan hanya muncul dari para tokoh, tapi juga mahasiswa. Bagi mereka, pernyataan Soeharto itu seolah membumbung ke langit dan hilang tanpa arti, hampa. Sebab, mahasiswa hanya menunggu pernyataan pengunduran diri Soeharto, bukan pembentukan Komite Reformasi.
Yusril mengklaim, bersama Saadilah, dirinya dipercaya Soeharto untuk merealisasikan pembentukan Komite Reformasi. Sekitar 45 nama diajak bergabung ke dalam Komite Reformasi. Namun, hanya tiga yang bersedia.
Senada, rencana pembentukan Kabinet Reformasi pun kandas. Sebanyak 14 Menteri anggota Kabinet Pembangunan VII, yang merupakan orang-orang dekat Soeharto, menolak untuk masuk kabinet itu.

Mereka adalah Akbar Tandjung, AM. Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirto, Justika S. Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Sanyoto Sastrowardoyo, Subiakto Tjakrawerdaya, Sumahadi, Tanri Abeng dan Theo L. Sambuaga.
Soeharto sendiri baru mendengar kabar penolakan 14 menteri pada Kabinet Reformasi pada 20 Mei malam, lewat sebuah surat yang dititipkan Akbar Tanjung pada Yusril. Berdasarkan keterangan Yusril, surat itulah yang kemudian menjadi dorongan final bagi Soeharto untuk keesokan harinya.
Dalam ketergesaan itulah Indonesia melangkah ke fase selanjutnya, yaitu reformasi. Proses pengunduran Soeharto pun disiapkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, tanpa dilakukan di hadapan DPR/MPR karena situasi Jakarta yang tidak memungkinkan digelarnya sidang.
Sejarah mencatat pada Kamis 21 Mei 1998, sekitar pukul 09.00 WIB, Soeharto resmi meletakkan jabatan dan digantikan oleh BJ Habibie. Tanpa transisi, tanpa Komite Reformasi.
Sorak sorai pun menggelora dari dalam gedung DPR/MPR, kampus-kampus dan berbagai pelosok masyarakat. Tawa senang para tahanan politik juga terdengar dari dalam LP Cipinang, menyambut berakhirnya era 32 tahun diktator.(berbagai sumber/ags/data1)
Discussion about this post