Oleh:
Hendra Arbie
Waspada.co.id – Indonesia terus berkembang menjadi ekosistem digital terbesar di Asia Tenggara. Masyarakat semakin familiar dengan berbagai pilihan dan layanan bertransaksi, termasuk pengajuan pinjaman. Terdapat berbagai bentuk dan segmentasi industri pinjaman, seperti talangan konsumen.
Jika dulu sumber pinjaman berasal dari teman, keluarga, dan bank, sekarang telah beralih ke alternatif teknologi finansial (tekfin) atau financial technology (fintech), salah satunya peer-to-peer (P2P) lending, yang merupakan layanan pinjam meminjam secara online. Sayangnya, banyak masyarakat yang sering menyamakan P2P lending dengan payday loan. per April 2019, sudah ada 106 Fintech Lending yang terdaftar di OJK.
Apakah peer to peer lending? Fintech ini mempertemukan antara pemberi pinjaman (investor) dengan para pencari pinjaman dalam satu platform. Nantinya para investor akan mendapatkan bunga dari dana yang dipinjamkan.
Contohnya; Investree, Koinworks. Dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016). Dalam peraturan tersebut, OJK menetapkan batasan pemberian pinjaman oleh pelaku usaha fintech P2P lending maksimal mencapai Rp2 miliar dalam mata uang rupiah.
Investree sebuah marketplace P2P Lending, berdiri May 2016 menargetkan penyaluran pinjaman hingga Rp4 triliun di akahir 2019, ada pun sampai sekarang mereka sudah menyalurkan Rp2.44 triliun total fasilitas pinjaman, dengan jumlah 4.379 jumlah pinjaman yang tersalurkan, 16,4 persen rata-rata tingkat pengembalian, 3 hari rata-rata waktu pinjaman terdanai, dengan TKB90 = 99,9 persen (TKB90 adalah ukuran tingkat keberhasilan penyelenggara fintech (P2P) lending dalam menfasilitasi penyelesaian kewajiban pinjam meminjam dalam jangka waktu sampai dengan 90 hari terhitung sejak jatuh tempo).
Ancam perbankan?
Pricewaterhouse Coopers Indonesia (PwC Indonesia) merilis Indonesia Banking Survei 2018. Dalam hasil survei tersebut, PwC Indonesia menyebutkan, perkembangan fintech menjadi salah satu risiko bagi industri perbankan nasional. Survei Perbankan PwC Indonesia dilakukan terhadap 65 responden dari 49 bank yang berada di Indonesia.
Para responden merupakan pejabat di tingkat manajemen senior pada masing-masing bank tersebut. Sebesar 41 persen responden dari bank besar menyatakan bahwa Survei Perbankan PwC Indonesia dilakukan terhadap 65 responden dari 49 bank yang menjadi ancaman serius dalam 5 tahun mendatang.
Deputi Komisioner OJK Institute Sukarela Batunanggar menyatakan 60 persen portfolio perbankan berisiko menurun bila tidak melakukan perubahan.
“Data global menunjukkan, hampir 60 persen portfolio perbankan itu at risk berpotensi akan menurun kalau banknya tidak melakukan perubahan secara konsisten,” kata Sukarela dalam acara dalam Seminar Digital Disruption and Banking For the Future: Avoiding ‘Extinction Phase’, Jakarta (2/5/2019).
Hingga saat ini, kata Sukarela, penurunan laba itu belum terlihat secara signifikan di industri perbankan. Namun, lambat laun jika bank tidak melakukan perubahan maka akan terdampak.
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida menyebut persentasenya mencapai 80 persen dari seluruh kegiatan pasar, akan lebih banyak dilakukan menggunakan smartphone. Hasil penelitian McKinsey kali ini menjabarkan dari sisi pertumbuhan internet banking, penggunaan smartphone dan overall digital Indonesia lebih unggul dibanding negara maju di Asia, semisal Jepang, Korea dan Taiwan dan dibanding negara berkembang di Asia (emerging Asia country) seperti India.
Walaupun di tengah ancaman dari fintech ini, petinggi bank tetap optimis seperti yang di katakan oleh salah satu Direktur IT Operation salah satu bank BUMN, “Pada 2020 kontribusi kanal digital akan mencapai 40 persen dari revenue (pendapatan). Saat ini kontribusinya baru 26 persen.
Kontribusinya nanti dari fee based income dan mendatangkan dana murah (CASA) Dengan menyiapkan belanja anggaran IT Rp3,8 triliun. Dana ini akan digunakan untuk memodernisasi 10.000 jaringan, pembenahan infrastruktur, data center, masuk cloud computing dan perbaikan aplikasi-aplikasi.
Untuk memenangkan persaingan masa mendatang baik fintech atau bank memiliki beberapa opsi untuk melebarkan sayapnya ke model bisnis digital dengan cara melakukan downsizing, merger atau akuisisi bahkan dng kolaborasi. (**)
Penulis Adalah Wakil Ketua Kadin Sumut Bidang Perbankan
Discussion about this post