Oleh
Hendra Arbie
Waspada.co.id – Miris, akses keuangan masyarakat terhadap perbankan saat ini baru mencapai 49 persen. Artinya dari 250 juta rakyat Indonesia nyaris setengahnya saja yang bisa mengakses lembaga keuangan. Sementara Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DKNI) menargetkan akses itu meningkat hingga 75 persen di akhri 2019.
Target tersebut kemudian dipacu juga dengan gerakan menabung termasuk di kalangan pelajar. Menurut Bank Dunia, inklusi finansial didefinisikan sebagai individu atau bisnis yang memiliki akses ke produk layanan keuangan untuk kebutuhan mereka, meliputi: transaksi, pembayaran, tabungan, kredit, dan asuransi yang disampaikan dengan cara bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Rendahnya inklusi keuangan Indonesia ternyata sama dengan kondisi global. Database Global Findex, kumpulan data luas tentang bagaimana orang di 144 negara menggunakan jasa keuangan, diproduksi oleh Bank Dunia dengan pendanaan dari Bill & Melinda Gates Foundation dan bekerja sama dengan Gallup, Inc menunjukkan, bahwa secara global, 1,7 miliar orang dewasa tetap tidak memiliki rekening bank, namun dua pertiga dari mereka memiliki ponsel yang dapat membantu mereka mengakses layanan keuangan.
Sementara, menurut hasil riset Bank Dunia, 20 persen kenaikan inklusi keuangan melalui adopsi layanan keuangan digital akan menyediakan tambahan 1,7 juta pekerjaan, bahkan lebih di negara berkembang. Secara umum banyak yang mengatakan bahwa kurang optimalnya persebaran layanan finansial di Indonesia disebabkan karena akses yang belum menjangkau secara penuh.
Hal ini yang dianggap sebagai kesempatan banyak pemain fintech untuk menghadirkan layanan non-bank yang mengakomodasi kebutuhan transaksi masyarakat unbankable –seperti di desa-desa atau di wilayah pelosok. Namun pertanyaannya: apakah sepenuhnya karena akses saja?
Jika ditarik garis lurus memang kelemahan inklusi keuangan ini pertama pada akses dan kedua produk yang tak bisa menyesuaikan dengan kondisi masyarakat. Tentu saja untuk akses, ada banyak aturan yang harus diikuti perbankan jika ingin memperluasnya.
Di sisi lain, pada problem kedua tentang ketidakmampuan menghadirkan produk yang sesuai kebutuhan masyarakat pun terbentur regulasi. Jika semua urusan di bank masih dengan syarat administrasi yang begitu banyak, tentu kontraproduktif dengan perkembangan zaman yang serba cepat.
Sebagai orang yang pernah ikut dalam institusi keuangan saya cenderung berfikir bagaimana mendorong agar produk finansial itulah yang menyesuaikan diri dengan masyarakat yang unbankable. Percepatan untuk inklusi keuangan itu tak seharusnya hanya dari perbankan. Karena inilah kesempatan para innovator teknologi.
Startup fintech bermunculan mencoba memberikan layanan lebih fit dengan kebutuhan masyarakat unbanked. Saat ini ada tiga wilayah utama yang banyak disasar pemain fintech, yakni e-money & digital wallet, payment, p2p lending, dan non-productive loan.
E-money dan digital wallet menghadirkan pada masyarakat proses transaksi non-tunai, umumnya secara digital dengan sistem yang didesain untuk meningkatkan kepercayaan konsumen. Pendekatan yang saat ini juga banyak dijadikan produk ialah Payment Point Online Banking (PPOB), dinilai sebagai aspek terdekat kebutuhan masyarakat. PPOB meliputi layanan pengisian pulsa, pembayaran listrik, layanan kesehatan dan lain-lain.
P2P (Peer-to-Peer) lending menghadirkan efek positif dengan sistem yang menyederhanakan proses pengajuan pinjaman. Sistem ini melibatkan dua pihak dari kalangan masyarakat, yakni peminjam dan pemberi pinjaman. Platform menjembatani dan memberikan prosedur.
Salah satu manfaat yang saat ini sudah dirasakan ialah pinjaman yang dapat diberikan kepada peminjam dengan tingkat risiko yang lebih tinggi, termasuk dari kalangan pelaku UMKM. Riset OJK 2016 menunjukkan bahwa, masih tingginya jarak pendanaan di Indonesia, yaitu sekitar Rp 988 triliun per tahun. (Sementara) kebutuhan sekitar Rp1.649 triliun dan hanya mampu dipenuhi oleh lembaga keuangan sekitar Rp660 triliun.
Kelemahan perbankan yang terlalu manut dalam regulasi dan lambatnya menyesuaikan dengan kondisi masyarakat yang mendorong fintech terus menjadi pilihan. Industri fintech memiliki peran yang sangat penting dalam membantu meningkatkan akses keuangan masyarakat Indonesia terutama masyarakat ‘Unbanked’. Karena itupula menurut Global Findex tadi Telah ada peningkatan yang signifikan dalam penggunaan telepon seluler dan internet untuk melakukan transaksi keuangan.
Antara 2014 dan 2017, fintech ini telah berkontribusi pada peningkatan pangsa pemilik akun yang mengirim atau menerima pembayaran secara digital dari 67 persen menjadi 76 persen secara global, dan di negara berkembang dari 57 persen menjadi 70 persen.
Di Asia Timur dan Pasifik, penggunaan transaksi keuangan digital tumbuh bahkan ketika kepemilikan akun mengalami stagnasi. Hari ini, 71 persen orang dewasa memiliki akun, sedikit berubah dari 2014. Pengecualian adalah Indonesia, di mana persentase orang dewasa dengan akun naik 13 poin menjadi 49 persen. Jadi target 75 persen inklusi keuangan dalam negeri akan banyak ditopang finctech. (**)
Penulis adalah Wakil Ketua Kadin Sumut Bidang Perbankan
Discussion about this post