JAKARTA, Waspada.co.id – Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyatakan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bisa kalah jika mengusung Ketua DPR Puan Maharani sebagai calon presiden pada Pemilu 2024.
Peneliti LSI Adjie Alfaraby mengatakan tingkat elektabilitas Puan masih rendah, hanya 2 persen. Padahal, tingkat popularitas Puan berada di angka 61 persen.
“Kalau kemudian PDIP dan Mega sebagai queen maker menetapkan Puan sebagai capres di 2024, maka risikonya adalah ada potensi capres PDIP akan dikalahkan dengan capres yang lain,” kata Adjie konferensi pers virtual, Kamis (17/6).
“Artinya PDIP akan kehilangan peluangnya untuk mengontrol pemerintahan di 2024-2029,” ujarnya menambahkan.
Namun, kata Adjie, keadaan itu dapat berubah. Syaratnya, pada 2023 atau setahun sebelum Pilpres 2024, tingkat elektabilitas Puan naik ke atas 25 persen. Menurutnya, Megawati sebagai Ketum PDIP bisa saja menunjuk Puan, yang juga anak perempuannya, sebagai calon presiden.
“Kami memberikan disclaimer bahwa hal ini bisa berubah kalau H-1 tahun atau menjelang, bisa dihitung di bulan Januari-Februari 2023, kalau elektabilitas Puan di atas 25 persen, maka kondisinya bisa berubah. Artinya Puan punya peluang jadi capres kuat yang diusung oleh PDIP,” kata Adjie.
Sementara itu, LSI menyebut bahwa Megawati sebagai queen maker memiliki opsi lain dalam Pilpres 2024. Dalam opsi ini, PDIP berkoalisi dengan Gerindra. Mereka menempatkan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto sebagai calon presiden, sementara Puan sebagai calon wakil presiden.
Dengan pilihan ini, kata Adjie, PDIP tentu memiliki risiko. Gerindra berpotensi menjadi partai pemenang pemilu, menggeser posisi PDIP. Pasalnya, PDIP memberi panggung yang cukup besar bagi Prabowo.
“Ini memang satu pilihan sulit, karena PDIP sebetulnya kalau dari sisi elektabilitas partai, saat ini PDIP punya potensi menghasilkan hat-trick pemenang pemilu di 2024 nanti,” ujarnya.
Opsi selanjutnya, kata Adjie, PDIP menyandingkan Puan dengan tokoh lain potensial atau populer. Dalam opsi ini, Puan tetap menjadi cawapres, sedangkan tokoh itu menjadi calon presiden.
Menurut Adjie, jika mengambil opsi ini, maka partai berlambang banteng itu akan mencoba melakukan kesepakatan dengan tokoh tersebut agar masuk sebagai anggota partai.
“Misal di sini, kita tampilkan Anies (Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan) dan Puan. Karena peluangnya adalah Mbak Puan dan PDIP sebagai tokoh yang mewakili suara dari kelompok nasionalis, harus berkoalisi dengan capres yang punya suara kuat di basis pemilih muslim politik,” ujarnya.
Namun, pada opsi ini, Adji melihat ada masalah yang harus dihadapi. Salah satunya mengenai komitmen tokoh dari luar partai politik tersebut.
Menurutnya, belum tentu tokoh itu tidak bersedia pindah partai atau berkomitmen dengan PDIP. Selain itu, Adjie juga menilai bahwa belum tentu ada penerimaan dari elite PDIP lain terhadap tokoh itu.
“Kalau kemudian tokoh yang diusung capres punya ideologi yang berbeda dari PDIP,” katanya. (cnnindonesia/ags/data3)
Discussion about this post