MEDAN, Waspada.co.id – Harga minyak kelapa sawit atau CPO di awal pekan ini mengalami penurunan yang sangat tajam. Pada perdagangan Senin (20/12) harga CPO bahkan sempat melemah hingga menyentuh level 4.275 – 4.295 ringgit per tonnya.
Perdagangan hari ini, Selasa (21/12) harga CPO berbalik di atas 4.300-an ringgit per ton. Jika dibandingkan dengan kinerjanya sebulan lalu yang mencapai 5.000-an ringgit per ton, harga CPO mengalami penurunan.
Pengamat Ekonomi Sumut, Gunawan Benjamin menuturkan harga CPO sudah turun sekitar 14% secara poin to poin. Ini bukan kabar baik bagi petani sawit namun penurunan harga ini sudah dikhawatirkan terjadi. Adanya gelombang pandemi Covid-19 khususnya varian omicron membuat ekspektasi pemulihan ekonomi menjadi pudar.
“Ini yang membuat konsumsi CPO global berpeluang untuk turun dan menekan harga sawit,” tuturnya, Selasa (21/12).
Akan tetapi di lapangan, kata dia, harga minyak goreng di pasaran masih bertahan mahal. Untuk minyak goreng curah di pasar tradisional di Medan masih dijual di angka Rp18 ribuan per kg dan tidak berbeda jauh dengan beberapa merek minyak goreng kemasan lainnya.
“Jadi memang ada beberapa asumsi yang bisa menyimpulkan mengapa minyak goreng masih mahal tersebut. Pertama, mengapa harga minyak curah itu lebih mahal daripada kemasan sebelumnya? Dan memang disaat harga CPO merangkak naik, minyak dalam kemasan memiliki biaya produksi yang terbilang lebih murah dibandingkan minyak curah,” jelasnya.
Tetapi kondisi ini justru berbeda, di mana minyak goreng curah dan kemasan tidak terpaut jauh. Seharusnya migor curah punya harga yang lebih bersaing dibandingkan dengan kemasan.
“Saya menduga bisa saja dikarenakan penurunan harga CPO belakangan ini terbilang sangat cepat terjadi, sehingga komponen pembentukan harga untuk minyak goreng masih bertahan mahal,” ungkapnya.
Gunawan menambahkan menduga ulah pedagang yang memang sengaja menahan harga karena kebutuhan akan Migor meningkat menjelang Nataru. Untuk itu sidak dibutuhkan di sini, dari hulu hingga ke hilirnya.
“Kedua, tren kinerja mata uang Rupiah juga tidak buruk-buruk amat sejak kehadiran omicron. Sejauh ini laju kinerja Rupiah terbilang bergerak dalam ruang yang sangat terbatas, masih dalam rentang aman di level 14.200 hingga 14.400,” tambahnya.
Seharusnya kinerja mata uang rupiah tersebut tidak lantas menjadi insentif tambahan bagi eksportir untuk menjual CPO ke negara lain. Dengan kinerja mata uang Rupiah yang cukup terbatas tersebut, seyogyanya juga tidak memicu kenaikan harga sejumlah bahan baku dari luar yang bisa memicu kenaikan harga produksi minyak goreng.
“Ketiga, dikhawatirkan sejak harga minyak goreng Kemasan lebih murah dari curah sebelumnya, ini menjadi malapetaka bagi produsen minyak goreng curah. Bisa jadi kapasitas produksi dari sejumlah produsen minyak curah baru mulai ditingkatkan atau mungkin baru dihidupkan,” jelasnya.
“Kalau ini yang terjadi maka sebenarnya titik keseimbangan baru harga minyak goreng akan tercipta nantinya. Ini hanya masalah waktu,” tuturnya.
Secara keseluruhan, ia melihat tren harga minyak goreng ke depan ini adalah tren penurunan. Mengikuti pola pergerakan harga CPO dunia, harusnya juga sudah mulai turun di saat Nataru ini.
“Kita lihat dalam dua hingga empat pekan ke depan. Apabila tren harga CPO masih sama atau justru turun tetapi harga masih bertahan mahal berarti memang ada masalah di situ,” pungkasnya. (wol/eko/d2)
Discussion about this post