MEDAN, Waspada.co.id – Berinvestasi sudah menjadi kebutuhan masyarakat untuk menjaga nilai uang atau asetnya masing-masing.
Apalagi, saat ini kalangan milenial kian melek akan pentingnya berinvestasi dan teknologi membuat orang lebih banyak melirik investasi dalam bentuk portfolio investment atau investasi portofolio.
“Di mana tren investasi kini berubah, kalau dulu orang mungkin lebih memilih berinvestasi dalam bentuk tanah, bangunan, emas, atau aset tetap lainnya. Namun saat ini, teknologi membuat orang lebih banyak melirik investasi dalam bentuk portfolio investment atau investasi portofolio,” tutur Kepala Perwakilan Bursa Efek Indonesia (BEI) Sumut, Pintor Nasution, Rabu (26/1).
Investasi dalam bentuk instrumen keuangan semakin di minati investor muda. Salah satunya adalah pilihan berinvestasi di pasar modal melalui Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan perantara perusahaan efek.
Salah satu instrumen investasi yang di perjualbelikan di BEI adalah saham. Namun, sebelum memulai invetasi saham, calon investor harus mempelajari karakteristik investasi saham itu sendiri.
“Mengapa harus di pelajari? Karena berinvestasi berbeda dengan menabung. Ada risiko di balik potensi return investasi. Seperti jargon yang sering di sampaikan para investor, “High risk high return, low risk low return,” katanya.
Investasi saham termasuk dalam katagori investasi yang memiliki risiko tinggi. Ada beberapa potensi keuntungan saham terlebih dahulu. Pertama, potensi keuntungan dari capital gain, yaitu keuntungan dari selisih antara harga jual dengan harga beli. Biasanya, makin banyak dana di investasikan, makin besar pula potensi capital gain yang bisa di peroleh.
“Keuntungan selanjutnya dari investasi saham adalah investor akan memperoleh pembagian dividen. Yakni bagian dari laba perusahaan yang di bagikan kepada para investor (pemegang sahamnya) sesuai jumlah saham yang di miliki atau modal yang di investasikan,” ungkapnya.
Selain memberikan potensi keuntungan besar, investasi saham juga memiliki risiko. Salah satunya adalah potensi kerugian akibat pergerakannya yang cenderung lebih fluktuatif sehingga harga jualnya dapat merosot sewaktu-waktu.
“Risiko lainnya dari investasi saham adalah ketika perusahaan bangkrut menurut putusan pengadilan sehingga harus di likuidasi. Jika perusahaan di pailitkan, maka pemegang saham biasa akan menjadi prioritas terakhir untuk mendapatkan hasil likuidasi aset perusahaan setelah semua kewajibannya di lunasi,” terangnya.
Selain itu, risiko lainnya adalah ketika perusahaan mengalami delisting atau di hapus dari bursa saham oleh BEI. Sehingga investor harus menjual semua sahamnya meskipun harga sahamya sedang turun.
“Lalu bagaimana agar investor bisa meminimalisasi risiko? Dengan mempelajari kinerja perusahaan dan membeli saham berdasarkan prospek kinerja jangka panjang. Semakin panjang jangka waktu berinvestasi, semakin rendah potensi risiko yang akan di terima,” katanya.
Selain itu lakukan juga diversifikasi dengan membeli lebih dari satu saham, dan membeli saham di beberapa sektor usaha. Sehingga jika salah satu perusahaan atau salah satu sektor mengalami masalah, tidak semua dana investasi tergerus atau berkurang akibat penurunan harga saham.
“Karena itu, berinvestasi saham membutuhkan modal yang relatif besar, yang cukup untuk membeli beberapa saham dengan tujuan untuk mengelola risiko,” ungkapnya.
“Investor juga harus membeli minimal satu lot saham yang berisi 100 lembar saham per lot. Selain modal investasi, di butuhkan pula kemampuan untuk menganalisa perusahaan yang sahamnya hendak di miliki, juga membutuhkan waktu untuk mengamati pergerakan harga saham,” pungkasnya. (wol/eko/d2)
Discussion about this post