Waspada.co.id – Pada suatu hari, Nabi Muhammad SAW keluar dari kamarnya untuk menuju masjid. Sesampainya di tujuan, Rasulullah SAW mendapati dua kelompok sahabat. Masing-masing duduk membentuk lingkaran. Kumpulan yang pertama sedang membaca Alquran serta berdoa dan berzikir kepada Allah SWT. Adapun yang kedua menyelenggarakan halakah keilmuan.
Nabi SAW bersabda, “Masing-masing kelompok berada dalam kebaikan. Terhadap yang sedang membaca Alquran dan berdoa, maka Allah akan mengabulkan doa mereka jika Dia menghendaki. Begitupun sebaliknya. Doa mereka tidak akan diterima jika Dia tidak berkenan mengabulkan. Mengenai golongan yang sedang belajar dan mengajarkan ilmu, maka (ketahuilah) sesungguhnya aku pun diutus untuk menjadi seorang pengajar. Sesaat kemudian, beliau pun bergabung dengan para sahabatnya yang sibuk mempelajari dan mengajarkan ilmu di sana.”
Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Majah itu menunjukkan, majelis ilmu lebih diridhai Rasulullah SAW daripada yang selainnya. Bahkan, beliau bersedia menjadi bagian dari halakah tersebut. Sebagai seorang mualim atau guru, Nabi SAW merupakan contoh yang sempurna. Dalam mendidik kaum Muslimin, beliau menggunakan pelbagai metode yang efektif. Dengan begitu, para sahabat dapat memahami dan juga mengamalkan ilmu-ilmu agama yang disampaikan beliau secara baik.
Salah satu metode pendidikan ala Rasulullah SAW ialah bercerita atau memberikan gambaran ilustratif. Sebagai contoh, cerita Nabi SAW saat hendak mengajar kan tentang keutamaan tobat. Beliau meng ilustrasikan seorang laki-laki yang kehilangan unta dan bekal di tengah gurun. Setelah sekian lama mencaricari, pengembara itu menjadi putus asa.
Pria itu lantas bersandar pada sebuah pohon. Dalam keadaan patah-arang, pengelana ini tiba-tiba mendapati unta yang tadi dicari-carinya itu sedang berjalan mendekatinya. Karena hatinya begitu gembira, lisannya tak sengaja berucap, “Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabb-Mu. Rasulullah SAW menjelaskan, Allah sangat gembira dengan tobat hamba-Nya melebihi kegembiraan lelaki dalam kisah tersebut.”
Metode lainnya ialah menjawab pertanyaan yang diajukan para sahabat. Begitu pula sebaliknya. Nabi SAW kadang kala mengajukan pertanyaan secara retoris kepada umatnya. Dengan teknik itu, beliau menstimulus keingintahuan dan perhatian mereka. Cara tersebut pernah dialami Mu’adz bin Jabal.
Saat sedang menempuh perjalanan, Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Maukah engkau aku beri tahukan tentang pokok, tiang, dan puncak amal? Mu’adz pun mengiyakan. Lantas, beliau meneruskan penjelasannya, Pokok amal adalah Islam. Tiangtiangnya adalah shalat. Puncaknya adalah jihad di jalan Allah.”
Tidak hanya sampai di situ. Rasulullah SAW kembali bertanya retoris, “Maukah engkau aku beri tahu tentang kunci perkara itu semua? Mu’adz mengangguk. Maka, beliau menyentuh lidahnya dengan ujung jari, Jagalah ini (lisan). Apakah setiap manusia akan dimintai pertanggung jawaban dari ucapan-ucapannya? tanya sang sahabat.”
“Semoga engkau selamat. Tidaklah manusia dicampakkan ke dalam neraka dengan cara diseret pada wajahnya atau dahinya kecuali disebabkan oleh kata-kata yang diucapkan oleh mulut mereka,”sabda Rasul SAW. Di samping berkisah atau tanya-jawab, beliau juga menggunakan pengajaran yang variatif. Metode tersebut dilakukan untuk menghindari rasa bosan yang mungkin saja muncul dari rutinitas. Selain itu, cara ber selang-seling juga berfungsi membuat para pendengar lebih terkesan.
Menurut kesaksian Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah SAW memilih hari-hari tertentu untuk menyampaikan mau’idzah kepada para sahabat. Sebab, beliau khawatir kami merasa bosan, kata Ibnu Mas’ud. Mau’idzah itu dapat diartikan sebagai ceramah atau nasihat yang berisi peringatan kepada umat.
Rasulullah SAW juga memberikan keteladanan tentang pendidikan yang berempati. Karena itu, pengajaran yang beliau berikan mudah dipahami oleh umatnya sekalipun mereka memiliki daya tangkap yang berbeda-beda. Misalnya, ketika beliau menghadapi seorang penggembala dari golongan Arab Badui yang mempertanyakan keadaan anaknya.
Putra lelaki itu lahir dengan warna kulit gelap, sedangkan kulitnya sendiri lebih terang. Nabi SAW kemudian mengajukan contoh yang mudah dipahami lawan bicaranya, yakni unta. Apakah engkau memiliki unta? tanya beliau.
Ya, jawab lelaki tersebut. “Apa saja warnanya? Merah, jawabnya. Apakah ada wana abu-abu pada kulit unta milikmu itu? tanya beliau lagi. Ya. Mengapa bisa begitu? selidik Nabi SAW. Warna itu didapatkan dari ras lain, jawab si Arab Badui. Sepertinya (hitamnya anakmu) itu adalah tanda lahir yang dibawa dari garis istrimu,’terang Rasul.
Putra lelaki itu lahir dengan warna kulit gelap, sedangkan kulitnya sendiri lebih terang. Nabi SAW kemudian mengajukan contoh yang mudah dipahami lawan bicaranya, yakni unta. Apakah engkau memiliki unta? tanya beliau.
Ya, jawab lelaki tersebut. “Apa saja warnanya? Merah, jawabnya. Apakah ada wana abu-abu pada kulit unta milikmu itu? tanya beliau lagi. Ya. Mengapa bisa begitu? selidik Nabi SAW. Warna itu didapatkan dari ras lain, jawab si Arab Badui. Sepertinya (hitamnya anakmu) itu adalah tanda lahir yang dibawa dari garis istrimu,’terang Rasul. (wol/irham/ril/d2)
Discussion about this post