Waspada.co.id – Laga lanjutan Liga 1 Indonesia yang mempertemukan antara Arema Malang kontra Persebaya Surabaya pada Sabtu (1/10) malam, akan menjadi peristiwa yang tidak akan pernah terlupakan sepanjang sejarah persepakbolaan Indonesia.
Bukan karena prestasi yang ditorehkan, melainkan tragedi berdarah yang memakan korban seratusan orang seusai laga itu.
Tragedi berdarah di Stadion Kanjuruhan Malang, Jawa Timur, kini telah menjadi sorotan bukan hanya di Indonesia, tapi juga dunia. Sejumlah media massa di dunia turut memberitakan tragedi mengerikan itu, bahkan klub raksasa Eropa, melalui media sosialnya juga turut mengucapkan keprihatinannya.
Dari berbagai sumber yang didapat bahwa kekecewaan para aremania (suporter Arema) atas kekalahkan tuan rumah Arema dari Persebaya menjadi pemicu utama peristiwa kemanusiaan itu terjadi. Meski memang sejauh ini pihak kepolisian masih terus menyelidiki penyebabnya.
Atas tragedi berdarah ini, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyampaikan pesan duka cita, dan meminta para pihak terkait untuk melakukan evaluasi. Ia pun secara khusus meminta Kapolri untuk melakukan investigasi, sekaligus meminta PSSI untuk sementara waktu menghentikan kompetisi Liga 1, sampai kasus diusut tuntas.
Sementara itu, Presiden FIFA Gianni Infantino juga terkejut dengan apa yang terjadi di kancah persepakbolaan Indonesia. Dunia sepakbola saat ini sedang syok menyusul insiden tragis yang terjadi di Indonesia ada akhir pertandingan antara Arema FC dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, demikian dikutip dari laman resmi FIFA.
Masalah kekecewaan suporter atas tim kebanggaanya hingga berujung bentrok memang bukan baru pertama terjadi, terlebih bila laga itu bertajuk derby (tim sekota). Namun kali ini sungguh sangat miris karena hanya pertandingan sepakbola harus memakan korban hingga seratusan orang.
Dari sejumlah data yang dihimpun, jumlah korban meninggal akibat kerusuhan di Stadion Kanjuruhan merupakan nomor dua yang paling mengerikan di dunia. Tragedi di Stadion Kanjuruhan menggeser insiden di Accra Sports Stadium, Accra, Ghana pada 5 September 2001 dengan korban 126 orang, yang sekarang harus turun ke posisi ketiga.
Sementara itu, insiden jumlah kematian suporter terbanyak dalam sejarah sepak bola dunia terjadi di Estadio Nacional, Lima, Peru pada 24 Mei 1964 dengan korban 328 orang. Sementara insiden paling mengerikan nomor empat berlangsung di Kathmandu Hailstrom, Kathmandu, Nepal pada 3 Desember 1988.
Dari peristiwa kemanusiaan ini, seluruh pihak harus berbenah serta mengevaluasi diri. Kepada para suporter, jangan lagi jadikan sebuah pertandingan sepakbola semata-mata sebagai pertarungan marwah dan harga diri, kalau ujung-ujungnya harus ricuh, hingga nyawa tak berdosa jadi melayang.
Ingat, jika sepakbola ini hanya sebuah hiburan, dan mestinya harus membuat kita semakin mempererat silaturahim bukan malah sebaliknya.
Sementara kepada pihak-pihak lain, peristiwa ini juga dapat menjadi pelajaran bagaimana agar sebuah pertandingan sepakbola bisa berlangsung dengan aman dan lancar. Jangan hanya semata-mata mencari keuntungan dari sebuah laga sepakbola, tapi keselamatan semua pihak juga harus menjadi prioritas.
Mungkin bagi anak, suami, istri atau sanak saudaranya yang tidak menjadi korban dari tragedi kemanusiaan ini, satu dua bulan ke depan peristiwa ini akan terlupakan. Namun bagi mereka yang anak, suami, istri atau bahkan sanak saudaranya tewas karena peristiwa ini pastinya tidak akan pernah terlupakan seumur hidup. Sekali lagi, sebuah pertandingan sepakbola sebesar apapun itu, tidak akan ada artinya jika dibandingkan dengan sebuah nyawa yang melayang. (***)
Discussion about this post