MEDAN, Waspada.co.id – Wahyu Mulyana, adalah seorang polisi. Namanya tak begitu familiar. Ia hanya bertugas sebagai Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) di Polsek Medan Labuhan. Siapa sangka, di balik kesibukannya mengabdi kepada negara, polisi berpangkat berpangkat Ajun Inspektur Polisi Dua (Aipda) ini menyimpan kisah menginspirasi.
Sehelai kain katun putih pembungkus jenazah atau disebut kain kafan dengan seperangkat alat fardhu kifayah, menjadi ‘saksi’ kemuliaannya. Bagaimana tidak, polisi korban tsunami ini telah ‘membendung’ air mata keluarga duka. Kisah itu tersirat setahun lalu, telah membuat kita terenyuh. Bagaimanakah kisahnya?
Waktu itu, tepatnya tanggal 30 Agustus 2021. Matahari sudah menuju ke timur arah mata angin, jarum jam telah menunjukkan pukul 15.00 WIB atau jam 3 sore. Masyarakat yang umumnya bermata pencarian sebagai nelayan melakukan aktivitas seperti biasanya di pinggiran benteng Sungai Deli di Jalan Young Panah Hijau.
Kapal-kapal nelayan mulai tertambat di pinggir benteng aliran sungai primer Kota Medan. Ikan-ikan hasil tangkapan mulai dibongkar dari kapal untuk dipasarkan.
Tak banyak waktu yang tersisa sore menjelang matahari terbenam. Hanya saja, seorang wanita janda yang kesehariannya bekerja sebagai penjemur ikan asin tak terlihat sore itu. Suasana tiba-tiba berubah seketika. Perhatian sontak mengarah ke rumah kayu berukuran 4×6 meter. Kerumunan warga dengan isak tangis telah menghebohkan di sekitar lingkungan itu.
Siapa sangka, dari dalam rumah itu ditemukan seorang wanita terbujur kaku. Wanita itu adalah Nur Ainun. Wanita itulah yang tak terlihat sore itu. Dia tutup usia 50 tahun.
Duka mendalam sangat dirasakan warga atas kepergian Nur Ainun yang hidup sebatang kara. Untuk menyelesaikan prosesi pemakaman, warga mencari keluarganya yang tak jauh dari lokasi, berjarak sekitar dua kilometer.
Dengan iringan tangisan, jenazah Nur Ainun dibawa ke rumah keponakannya di Gang Hijrah. Duka mendalam pun dirasakan Hasan bersama istrinya Linda atas meninggalnya makciknya, Nur Ainun.
Sore itu, Hasan dan istrinya benar-benar panik. Hidup dengan keterbatasan ekonomi, membuat keduanya kebingungan untuk melaksanakan fardhu kifayah Nur Ainun.
Tak banyak yang diperbuat warga. Sebab, Nur Ainun tak masuk dalam perkumpulan serikat tolong menolong (STM) masjid di lingkungan tempat tinggalnya. Prosesi fardhu kifayah janda sebatang kara itu harus ditanggung oleh keluarga sendiri.
Para takziah terus berdatangan. Di antaranya, tampak seorang polisi berseragam lengkap memakai lobe putih. Dia adalah Wahyu Mulyana. Telinga polisi berpangkat Aipda mendengar keluhan keluarga duka. Polisi yang sehari-hari bertugas di Bhabinkamtibmas Kelurahan Labuhan Deli ini, bergegas pamit dari rumah duka.
Dengan mengendarai sepeda motor, polisi berusia 39 tahun ini menuju ke sebuah toko penjualan alat fardhu kifayah di Pasar 5 Marelan. Dengan merogoh kantong pribadinya, ia membeli kain kafan dan seperangkat alat fardhu kifayah.
Matahari mulai terbenam, waktu menjelang malam sudah mulai dekat. Polisi kelahiran 6 Mei 1983 ini, kembali mendatangi rumah duka keluarga almarhumah Nur Ainun. Kedatangan Wahyu dengan membawa seperangkat alat fardhu kifayah, sontak membuat keluarga duka terheran.
Kain kafan polisi itu dengan seketika ‘membendung’ air mata keluarga duka. “Alhamdulillah, terima kasih banyak pak, semoga Allah membalasnya” ucap Hasan sambil menyapu linangan air mata membasahi pipinya disambut iringan suka dari para takziah, sambil menerima kain kafan seperangkat alat fardhu kifayah.
“Semua ini karena Allah, semoga almarhumah dilapangkan kuburnya,” ucap Wahyu, membalas ucapan kepada keluarga duka kala itu.
Siapakah Aipda Wahyu Mulyana?. Bagi masyarakat yang menetap di Kelurahan Labuhan Deli, sosok Wahyu tak asing lagi. Sifat sosial dan kemuliaannya menjadi panutan masyarakat tempatnya bertugas.
Polisi berjiwa sosial ini mengawali karirnya di Kepolisian Republik Indonesia (Polri) bertugas di Kota Banda Aceh pada tahun 2004. Baru sembilan bulan mengabdi Korps Bhayangkara, bencana gempa dan tsunami mengguncang Kota Banda Aceh pada 26 Desember 2004 lalu.
Peristiwa 18 tahun silam itu, Wahyu masih berpangkat Brigadir Polisi Dua (Bripda), dipercayakan sebagai ajudan Kapolres Banda Aceh. Bencana dahsyat mengguncang Bumi Serambi Mekkah, menjadikan duka mendalam bagi dirinya. Ia harus rela kehilangan kedua orang tua dan keempat adiknya. Mirisnya, jenazah keluarganya hilang. Fardhu kifayah untuk kedua orang tua dan keempat adiknya tidak dapat dilakukannya. Rasa trauma dibalut kesedihan terus terngiang dibenaknya .
Pada tanggal 5 Mei 2005, Wahyu memilih pindah tugas ke Polda Sumut untuk menghilangkan rasa trauma mendalam. Selama tiga tahun bertugas di Polda Sumut, rasa kerinduan akan kampung halaman terbenak di pikirannya. Pada tahun 2008, polisi berjiwa sosial ini memilih pulang ke Banda Aceh untuk mengirim doa kepada keluarganya.
Wahyu mendapat wejangan dari Ustaz Syamsudin yang menjadi imam dalam melantunkan doa untuk kedua orang tua dan keempat adiknya. Polisi kelahiran Aceh ini disarankan bersedekah seperangkat alat fardhu kifayah bagi keluarga kurang mampu, sebagai tanda jasa membalas kedua orang tua dan keempat adiknya.
“Musibah tsunami itu yang meniatkan saya untuk menyumbangkan alat fardhu kifayah kepada orang susah. Alhamdulillah, niat itu sudah tercapai. Sudah ada tujuh orang sudah saya bantu,” kenang polisi berjiwa sosial ini.
Sebagai abdi negara bertugas, Wahyu terus mengabdi di tengah-tengah masyarakat. Pada tahun 2017, dirinya kembali terenyuh melihat kondisi petani di Marelan. Ia merasakan pahitnya penghasilan para petani yang tersandera monopoli tengkulak atau agen.
Dengan ide dan pemikirannya, polisi berjiwa sederhana ini mengajak para petani untuk bersama-sama membuka Gudang Sayur Kamtibmas. Alhamdulillah, para petani dapat memasarkan hasil panennya dengan memeroleh keuntungan besar. Sejak itulah, polisi memiliki empat orang ini dijuluki ‘Polisi Sayur’.
Di sela-sela kesibukan hidup bersama petani dan pedagang sayur, Wahyu mengajak para pecandu narkoba untuk bisa bekerja dan berjualan sayur bersamanya. Para pencandu narkoba ini pun dapat terarah lebih baik melalui pembinaanya.
Bisnis sayurnya semakin berkembang. Keuntungan yang diperoleh disisihkannya untuk membuka rumah tahfiz bagi anak-anak kurang mampu. Pengabdiannya pun menjadi perhatian serius dari pimpinannya tempatnya bertugas, berbagai penghargaan dari tingkat daerah hingga nasional ditorehnya, bahkan ia sempat mengisi acara di salah satu televisi swasta.
Sosoknya yang peduli dengan masyarakat tak hanya putus sampai di situ. Ia terus mengabdi dengan membuka Taman Bacaan Anak Nelayan (Tamban) Kamtibmas di pinggir benteng Sungai Deli. Setiap hari, sekitar 15 hingga 20 anak nelayan ikut belajar di lembaga pendidikan non formal yang didirikannya hingga kini.
“Alhamdulillah, anak-anak nelayan itu sudah ada ikut ujian paket A, B dan C,” ungkap Wahyu saat ditemui penulis di rumahnya, Senin (10/10) .
Sungguh menginspirasi pengabdiannya. Penulis pun kagum. Tapi, baginya itu semua hanya semata untuk mendapat ridha dari Allah SWT.
“Tak banyak yang aku perbuat kepada masyarakat, semua ini tak terlepas dari dukungan pimpinan, masyarakat dan izin dari Allah. Alhamdulillah, amal baik ini dapat mengantarkan doa kepada orang tua dan empat adik saya,” ucap Wahyu dengan mata berkaca-kaca mengenang keluarganya.
Begitulah kisah yang terselimput dari Aipda Wahyu dalam pengabdiannya di masyarakat. Sosoknya telah ‘membendung’ air mata keluarga duka, mengajak pecandu narkoba untuk lebih baik dan menyelamatkan dunia pendidikan anak kurang, telah menginspirasi bagi kita.
“Jadilah diri kita berguna untuk orang banyak. Mari kita berkarya demi kepentingan orang banyak,” pesan Wahyu menutup cerita dari pertemuan kami.
Penulis: FACHRIL SYAHPUTRA
(Tulisan ini untuk diperlombakan dalam rangka HUT ke-71 Humas Polri)
Discussion about this post