MEDAN, Waspada.co.id – Pengendalian inflasi di tahun depan diproyeksikan masih akan sulit. Meskipun tidak akan sesulit tahun ini, di mana inflasi banyak dipicu sejumlah faktor baik itu eksternal maupun internal.
Besaran inflasi di tahun 2023 mendatang realisasinya diperkirakan masih akan dalam batas target sasaran 3 persen plus minus 1 persen. Kalau untuk tahun 2022 secara nasional diperkirakan inflasi akan berada dalam rentang 5 persen hingga 5,3 persen. Sementara untuk wilayah Sumut inflasinya akan lebih rendah dikisaran 4,9 persen hingga 5,1 persen.
Ekonom Sumut, Gunawan Benjamin menuturkan kinerja inflasi di tahun depan memang akan lebih baik kalau dari sisi pencapaian angkanya. Namun inflasi di tahun depan sekecil apapun kenaikannya memiliki daya rusak yang lebih besar, ketimbang inflasi di tahun 2022.
“Karena di tahun depan, dampak dari kenaikan suku bunga acuan akan membuat terjadinya perlambatan ekonomi di tanah air,” tuturnya, Kamis (22/12).
Bahkan bagi sejumlah negara lainnya, kenaikan suku bunga yang agresif selama tahun ini, akan dibayar mahal dengan resesi yang terjadi di tahun 2023 mendatang. Sehingga inflasi yang rendah jika diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang turut melambat atau justru resesi, tentunya dampak kerusakan yang dihasilkan bagi tatanan ekonomi masyarkat cukup signifikan.
Fenomena karyawan kontrak dirumahkan, atau semakin banyak karyawan yang di PHK yang mulai terjadi di tahun ini dan diperkriakan berlanjut di tahun depan. Maka sekecil apapun inflasi yang muncul, tentunya akan membuat daya beli masyarakat kian terpuruk. Sehingga di tahun 2023 mendatang, pemerintah seharusnya melakukan upaya agar inflasi bisa dikondisikan tidak jauh dari level 0 persen.
“Meskipun terlihat mustahil, namun upaya untuk menekan inflasi harus dilakukan dengan effort atau usaha yang lebih besar. Saya melihat pengendalian inflasi di tahun depan tidak akan terlepas dari inflasi yang ditimbulkan karena gangguan supply chain, meluasnya perang, proteksi kebijakan ekspor di Negara masing masing, dan dampak kenaikan harga akibat kenaikan suku bunga acuan bank sentral yang umum terjadi di banyak Negara belakangan ini,” jelasnya.
Dari beberapa komponen yang kemungkinan besar akan membuat laju tekanan inflasi adalah potensi kenaikan harga energi khususnya minyak dan gas, bahan baku dan barang modal industri, bahan baku pertanian (pupuk), hingga produk pangan seperti daging, susu, dan biji bijian. Selain itu, inflasi juga harus dilihat dari pergerakan mata uang rupiah.
Diketahui pelemahan rupiah bisa memicu kenaikan laju inflasi. Dan harus diwaspadai juga bahwa resesi yang akan dirasakan di sejumlah Negara besar, justru inflasinya akan tetap terjadi di negara yang mengalami resesi tersebut. Kondisi tahun depan sangat berbeda dengan resesi yang pernah melanda ekonomi global di kisaran tahun 2020 hingga awal 2022.
“Kalau resesi selama pandemi tidak diikuti dengan lompatan inflasi yang tinggi. Namun untuk kemungkinan resesi atau perlambatan ekonomi di tahun depan, inflasi tinggi tetap akan terus menghantui. Dan faktor utama pendorong laju tekanan inflasi di tahun depan adalah perang yang kian meluas yang membuat inflasi sulit dijinakkan,” tandasnya. (wol/eko/d2)
Discussion about this post