PANYABUNGAN, Waspada.co.id – Siapa yang tidak kenal dengan Kopi Takar minuman tradisional khas Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, yang menjadi primadona pelancong dari berbagai daerah di Indonesia maupun mancanegara.
Bahkan sejak zaman Kolonial Belanda daerah ini salah satu penghasil kopi terbesar di Indonesia, sehingga minuman kopi di daerah itu, sudah kental dengan adat budaya warga sekitar .
Berkembangnya zaman, banyak warga sekitar yang menyambung hidup dan menjadi tulang punggung keluarga dengan menjadi pedagang kopi takar, rumahan dan usaha jalanan.
Namun mirisnya kopi ini seperti tidak menjadi perhatian khusus pemerintah daerah, pasalnya para pedagang mengeluhkan semakin sulitnya bahan baku untuk menyajikan kopi takar seperti cangkir yang terbuat dari tempurung kelapa, sehingga para pedagang terpaksa harus ekspor tempurung kelapa dari Kota Yogyakarta.
Padahal wilayah Tapanuli Selatan merupakan penghasil kelapa maupun tempurung kelapa, namun abainya pemerintah daerah terhadap kopi takar nyaris di ujung kepunahan karena semakin langkahnya bahan baku.
Padahal pemerintah daerah Kabupaten Mandailing Natal pernah mendapat penghargaan Muri dari Kopi Takar pada 7 Maret 2017 silam dengan minum kopi takar menggunakan tempurung yang diadakan di Taman Raja Batu Kompleks Perkantoran Bupati Mandailing Natal.
Kini pemerintah daerah seperti mengabaikan hal yang berpotensi menjadi daya tarik jual yang tinggi pagi pelaku UMKM di wilayah sekitar.
M Farhan Muis Nasution saat mencicipi kopi tradisional di Rumah Makan Pondok Paranginan, Kecamatan Panyabungan Selatan, Kabupaten Mandailing Natal, mengatakan harusnya ini bisa menjadi atensi pemerintah daerah untuk berinisiatif memproduksi bahan tersebut agar bisa menjadi pemasok di dalam maupun luar kota.
Menurutnya, jika pemerintah mampu memproduksi bahan baku itu banyak menyerap tenaga kerja sekaligus membatu UMKM daerah menjadi lebih maju.
“Kalau dihitung sekitar ada 7.000 warung, kafe maupun rumah makan di Tabagsel yang menjual kopi takar. Kopi takar ini istimewa, tapi produksi cangkir kelapa tidak ada. Itukan harusnya menjadi peluang yang luar biasa,” katanya, Senin (20/3).
“Kalau dihitung secara rinci tiap bulannya kita butuh ratusan ribu cangkir tempurung kelapa. Sehingga jika diproduksi sendiri kita malah untung besar sekaligus mengurangi pengangguran,” tambah kader muda Partai Nasdem.
Jika ini terus dibiarkan oleh pemerintah daerah, Farhan mengaku Kopi Takar ini berpotensi di ujung kepunahan dan akan menjadi cerita sejarah bagi warga Mandailing maupun Indonesia.(wol/lvz/d1)
Editor: SASTROY BANGUN
Discussion about this post