Ketika bergerak dari Bandara sekitar pukul 19.00 kota Solo sudah gelap. Masuk tol sebentar kami lalu ke luar di Palur dan masuk Karang Anyar. Sekitar satu jam kemudian kami mulai bergerak di lereng Gunung Lawu, dengan tanjakan dan juga turunan. Udara dingin dan gerimis mulai terasa. Walaupun perut lapar, kami sepakat makan di daerah Cemoro Kandang, titik tertinggi untuk dilalui kendaraan, 1830 meter dari permukaan laut.
Waktu menunjukkan pukul 21.00, di tengah gerimis yang cukup deras dan udara dingin sekitar 18 Celsius, kami menyantap hidangan hangat. Ada nasi goreng, sate kelinci dan sate ayam, saya sendiri memilih pecel, yang rasanya tidak beda dengan pecel Kediri atau Madiun yang pernah saya makan dengan perasaan nikmat. Uap sudah keluar dari mulut ketika kami bicara, pakai jaket pun dingin masih menusuk terutama karena tiupan angin di leher Gunung Lawu yang puncak tertingginya mencapai 3.265 meter.
Di tengah perjalanan saya diceritakan mengenai kesaktian Gunung Lawu yang selalu dikunjungi mereka yang ingin meraih jabatan dalam pemerintahan, pusat maupun daerah. Dipercaya bahwa raja terakhir Majapahit, Prabu Brawijaya, menjadikan wilayah ini sebagai pertapaannya setelah undur diri dari kekuasaan. Di sana sesembahan, yang wajib dikunjungi, dan dipercaya akan sukses terpilih. Saya bayangkan, menjelang Pemilu dan Pilpres 2024, pastilah tempat ini akan ramai didatangi orang-orang yang percaya.
Sebagai wartawan cerita-cerita itu tentu menarik untuk ditulis, meskipun mungkin sulit untuk memergoki para tokoh melakukan ritual di gunung ini, kecuali kita termasuk orang dalam atau masuk menjadi tim sukses. Ada cerita dimuat di media sosial yang menggambarkan keangkeran dari Gunung Lawu, dan bahkan dinobatkan sebagai gunung paling angker di Indonesia, karena mitos maupun kesaksian mereka yang pernah mendakinya. Wallahu a’lam.
Yang menarik hati saya justru banyaknya penginapan dan kedai kopi serta tempat makan yang terang benderang meskipun bukan hari libur. Memang benar, dengan andalan utama Telaga Sarangan, inilah daerah wisata paling terkenal di Magetan yang mendatangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tertinggi. Ada puluhan penginapan dan kuliner, saat kami mulai menuruni dataran tinggi menuju kota Magetan.
Jalanan yang basah, gerimis, dan turunan terjal yang meliuk-liuk, membuat rasa kantuk pun hilang. Apalagi setelah kemeriahan lampu bangunan hilang, yang ada hanya kegelapan di luar jendela kendaraan. Keesokan harinya ketika kami kembali ke wilayah ini, barulah terlihat jelas keindahan bukit-bukit hijau dengan udara yang segar. Wajar kalau tidak hanya dari Solo atau Jawa Timur, wisatawan yang datang juga termasuk dari wilayah yang jauh.
Discussion about this post