Ketika menjadi pembicara di forum kehumasan, saya menekankan perlunya kedekatan antara media dengan humas, meski tetap harus menjaga jati diri dan etika masing-masing. Teman tapi beda, begitu istilah yang saya pakai.
Kedua pihak saling membutuhkan. Walaupun medsos sudah berkembang, media massa masih lebih kredibel untuk menjadi sumber informasi, sehingga pemerintah daerah tidak boleh mengesampingkan. Harus bekerja sama, dan juga dapat menjadi sumber pendapatan bagi media dalam bentuk advertorial dll. Sebaliknya media harus mengambil sudut pandang positif agar daerah tempat dia hidup maju dalam segala hal, ekonomi, sosial, budaya maupun partisipasi publik.
Sudah bukan zamannya lagi bad news is good news. Dengan tsunami informasi yang memenuhi ruang-ruang digital, masyarakat membutuhkan berita baik, yang menginspirasi, yang memberi wawasan, yang memberi semangat, yang dapat memberikan contoh sukses. Kritik tentu saja harus dilakukan media massa, tetapi semangatnya adalah memberi solusi, mencari jalan keluar untuk kemaslahatan orang banyak, bukan sekadar nyinyir dan membesar-besarkan kekurangan atau kesalahan.
Saya merasa perlu bertanya, kalau daerah kalian melulu dilanda ketegangan, konflik, saling menyalahkan, yang lalu berakibat buruk bagi semangat membangun, membuat ekonomi mandeg, apakah media Anda bisa hidup? Tentu belanja iklan dan kemitraan media akan menurun anggarannya.
Media di Thailand pernah mengoreksi diri ketika dari semula mengekspos besar-besaran kerusuhan, pengeboman, yang membuat turis takut datang dan ekonomi terpuruk, mereka akhirnya merasa rugi sendiri, karena ruang hidup, ekosistem media akan ikut rusak. Tidak ada devisa masuk, tentu dampak negatifnya juga melanda media.
Memberi pemahaman seperti ini saya kira perlu. Dalam kondisi menurunnya konsumsi berita di media massa oleh masyarakat karena mereka semakin gemar mencari informasi di media sosial, perubahan perilaku audiens media karena kemajuan teknologi informasi, dan semakin tergerusnya belanda iklan akibat banyak diserobot platform global dan medsos, pengelola media massa khususnya di daerah harus mencari pembaca dengan pemberitaan bersudut pandang positif.
Ada berapa banyak orang sukses di wilayah kita yang belum terekspos, pelajar berprestasi, petani yang berhasil, tokoh sosial, politik, budaya, yang selama ini terabaikan.? Ini salah satu kekuatan media lokal yang belum tergarap. Dan tentu saja produk jurnalistiknya harus tetap menjunjung tinggi etika dan mencapai standar jurnalistik secara umum.
Kalau mampu menjawab ini, media lokal akan bertahan seberapa besarnya pun intervensi dari media sosial. Dan tidak perlulah dipikirkan itu soal publisher right yang lagi ramai dibicarakan oleh kalangan pers di Jakarta. Ribet dan tidak punya kaitan langsung juga dengan media lokal yang masih tergolong UMKM. (***)
Penulis adalah Penasehat SMSI Pusat, Mantan Anggota Dewan Pers, Mantan Sekjen PWI Pusat
Discussion about this post