Oleh: Rizky Ramadhan
Waspada.co.id – Lika-liku isu wacana penundaan pemilu mulai mencuat kembali ke permukaan. Awal bulan ini publik dikejutkan oleh putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Partai Prima) yang menggugat Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan penundaan terhadap Pemilihan Umum (Pemilu). Tentu pertanyaan yang langsung terbesit dalam benak segenap orang ialah bagaimana bisa sebuah pengadilan di tingkat terendah dapat melangkahi ketentuan pada kaidah peraturan perundang-undangan yang tertinggi?
Lingkaran permasalahan dalam kasus ini sejatinya bukan hanya berakar pada akar tunggal. Sesungguhnya unsur-unsur kontroversial di dalamnya bukan hanya berkutik seputar isi putusan dilematis yang dikeluarkan pengadilan tersebut. Sebelum melangkah pada putusan wajib pula dipertanyakan terkait kompetensi peradilan yang memeriksa sengketa proses Pemilu ini. Pasal 468 dan 469 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum menerangkan dengan jelas bahwa pihak yang berwenang menyelesaikan sengketa Pemilu hanyalah Bawaslu dan pengadilan tata usaha negara. Dimana Bawaslu menjadi lembaga pengawal dalam hal mengadili dan diikuti pengajuan upaya hukum ke PTUN apabila para pihak tetap tidak menerima putusan yang dijatuhkan oleh Bawaslu.
Partai Prima sejatinya sudah menempuh langkah-langkah yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku guna memperjuangkan haknya terkait hasil verifikasi administrasi partai peserta pemilu, namun sayangnya upaya tersebut berujung tidak diterimanya gugatan tersebut oleh PTUN. Langkah Partai Prima selanjutnya inilah yang menjadi sebuah keganjilan, gugatan yang dilayangkan pada kamar perdata PN Jakarta Pusat dapat dikatakan sebagai gugatan yang salah kamar. Mengingat tidak adanya proses dismissal layaknya PTUN pada kamar perdata maka peran vital ini sangatlah bergantung pada kebijaksanaan hakim yang tentu juga harus disandarkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain bertentangan dengan peraturan-peraturan yang telah dipaparkan sebelumnya, hal ini juga bertolak belakang dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) tepatnya pada Pasal 2 Ayat 1 yang menyatakan bahwa perbuatan melanggar hukum yang dilakukan Badan atau Pejabat Pemerintahan dalam konteks ini lembaga tersebut ialah KPU merupakan kewenangan dari PTUN, bukanlah PN terlebih lagi pada kamar perdatanya. Oleh karena ketentuan-ketentuan tersebut, sudahlah seharusnya putusan ini dianggap sebagai batal demi hukum (void ab initio) pada tahapan banding selanjutnya.
Frasa penundaan Pemilu pun tidak dikenal oleh sistem hukum negara kita. Hukum Indonesia hanya mengakui mekanisme Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan. Pertama, Pemilu lanjutan yang diatur dalam Pasal 431 UU Pemilu, dimana dalam pemilihan model seperti ini hanya dapat dilakukan apabila terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya, yang terpenting harus kita pahami dari mekanisme ini ialah pemilihan yang dihentikan dan dilanjutkan kembali dalam konteks ini hanyalah pada daerah yang terdampak gangguan tersebut bukanlah Pemilu secara keseluruhan atau nasional.
Kedua, Pemilu susulan yang dijelaskan dalam pasal selanjutnya menerangkan bahwa pemilihan bisa diundur waktu pelaksanaannya apabila seluruh tahapan penyelenggaraan dari Pemilu tidak dapat dilaksanakan karena alasan terjadi kerusuhan atau keadaan darurat, hal yang harus digaris bawahi dari pemilihan jenis ini ialah mekanisme ini dilaksanakan hanya apabila Pemilu tidak dapat diselenggarakan dari tahap pertama, bukan berarti Pemilu yang sudah setengah jalan atau tahapannya sudah terlaksana sebagian dapat mengenakan mekanisme ini. Oleh ketentuan-ketentuan tersebut telah teranglah sudah bahwa gugatan Partai Prima ini sama sekali tidak memiliki celah untuk dapat menunda Pemilu nasional Indonesia.
Bila kita menarik ini ke tingkat kaidah tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan negara kita maka semakin teranglah kekeliruan itu terlihat. Merujuk pada Pasal 22E ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi: “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali” maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa putusan terkait sengketa Pemilu di DKI Jakarta yang berimpliklasi pada penundaan Pemilu nasional yang seharusnya dilakukan lima tahun sekali adalah putusan yang tidak demokratis dan mencoreng marwah dari konstitusi.
Bila kita tarik benang merahnya maka putusan ini dapat dicap telah menyimpangi Peraturan Mahkamah Agung, Undang-Undang Pemilu, dan bahkan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi tumpuan hukum di negara kita. Walaupun sangat dilematis bagi KPU untuk memilihi antara mengikuti konstitusi atau menghormati kekuasaan kehakiman dengan cara mengikuti putusan pengadilan, tetapi oleh sebab sifat kekeliruan yang telah terang benderang dan tentu dapat menganggu sistem ketatanegaraan Indonesia oleh karena akan berdampak pada kosongnya kursi akibat masa jabatan para pejabat yang telah habis di tahun depan, sekiranya sudahlah cukup untuk menjadi pegangan KPU guna mengambil langkah untuk memilih mengikuti amanat dari konstitusi ketimbang putusan tersebut.
Atas putusan yang bersifat extra ordinary ini pun sebaiknya Komisi Yudisial turut ambil bagian dalam menyelidiki latar belakang sampai hakim bisa mengeluarkan putusan yang nyata keliru ini dengan cara menganalisis putusan tersebut atau juga dikenal dengan istilah eksaminasi. KY harus menggunakan wewenangnya ini guna menjaga kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Sebab apabila tidak, hal ini akan berimplikasi pada semakin menurunnya indeks kepercayaan publik pada hakim dan bila hal itu juga dibiarkan terjadi maka hilanglah esensi dari tujuan pembentukan KY tersebut.
Di balik sekelumit kontroversi yuridis pada kasus ini, kecurigaan tinggi masyarakat jugalah penting dalam menerka atau melihat konstelasi politik. Seperti yang dikatakan oleh Prof. Mahfud MD bahwa hukum sejatinya ialah produk politik. Bahwasannya hukum dan politik selalu bergumul dan cenderung politiklah yang memenangkannya. Dari polemik ini begitu banyak pertanyaan yang timbul apabila kita menggunakan sikap skeptis kita sebagai manusia.
Mulai dari pertanyaan, bagaimana bisa hak sebuah partai yang dirugikan pada satu daerah bisa berimplikasi pada Pemilu nasional? Mengapa Partai Prima tidak menggugat hanya pada haknya untuk mendapat verifikasi ulang? Alih-alih menegakkan kembali hak partai tersebut dengan verifikasi ulang, pengadilan pun malah memutus untuk menunda Pemilu, apa urgensi menunda Pemilu secara keseluruhan selama dua tahun lebih apabila kesalahan yang terjadi hanya pada satu daerah? bagaimana nasib hak-hak partai lainnya? Sederet tindakan-tindakan pihak-pihak dalam drama politik ini sama sekali tidak dapat diterima bagi legal reasoning dan akal sehat.
Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya ialah bagaimana bisa putusan bersifat privat dapat membatalkan hukum publik yang ada? Tentu seorang hakim harus mampu membedakan hal mendasar semacam ini dan tidak mencampuradukkan antara hukum yang bersifat privat dan publik. Bagaimana bisa seorang hakim tidak mengetahui batas wewenangnya? Bagaimana bisa kekuasaan kehakiman di tingkat terendah dapat melangkahi ketentuan yang tertuang dalam konstitusi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah seharusnya membuat kita sadar bahwa wacana penundaan pemilu itu masih eksis di negeri ini.
Merujuk buku “How Democracies Die”, sebuah karya dari dua Profesor dari Universitas Harvard yang menjelaskan bahwa proses kematian demokrasi tidaklah harus selalu bermula dari gerakan-gerakan separatis atau bersenjata seperti kudeta militer yang inkonstitusional tetapi kekuasaan internal yang sesungguhnya menjadi momok pembusukan demokrasi dari dalam sebuah negara. Intervensi politik seperti mengkerdilkan atau mengamputasi peran lembaga penyelenggara Pemilu dapat membuat kondisi semakin terpuruk. Dengan kata lain, demokrasi bisa mati dengan pelan-pelan dan pihak yang paling berpotensi mematikan demokrasi ialah seorang pemimpin otoriter yang awalnya dipilih dari lembaga yang legal, tetapi sesudah itu membajak demokrasi dengan kekuatan politik yang telah ia gapai.
Hal-hal yang tengah terjadi saat ini bukanlah hal yang normal bila dipandang dari kacamata hukum dan memang sudah sepatutnya dipandang sebagai sebuah keanehan. Jauhi akal dari pikiran bahwa isu-isu seperti ini merupakan kebetulan belaka. Demi kepentingan pribadi, bukan tidak mungkin kondisi saat ini yaitu tahun Pemilu melahirkan banyak aktor-aktor yang mungkin tidak kita sangka dapat menjadi pemeran di balik layar dalam hal memuluskan penundaan Pemilu tahun depan. Jangan sampai karena kurangnya sikap skeptis dalam diri dan terbenamnya sikap apatis dalam jiwa kita berdampak terhadap terenggutnya hak kita untuk memilih dan berdemokrasi di negara yang kita sayangi ini, untuk itu marilah bersama mengawal Pemilu.
*Penulis adalah seorang Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Discussion about this post