Oleh: Dr Arianda Tanjung M.Kom.I
Waspada.co.id – Dalam dunia politik, bisnis, bahkan kehidupan sehari-hari, fenomena “berebut tahta” menjadi cerita yang terus berulang.
Perebutan kekuasaan, baik dalam arti harfiah maupun simbolis, telah menjadi bagian integral dari sejarah manusia. Fenomena ini mencerminkan sifat dasar manusia yang tidak hanya mencari kendali, tetapi juga pengakuan dan legitimasi atas otoritas yang dimiliki.
Ambisi sering kali menjadi motor penggerak dalam perebutan kekuasaan. Seorang pemimpin dengan visi besar mungkin ingin menggenggam tahta demi membawa perubahan, namun tidak jarang ambisi itu terselubung oleh kepentingan pribadi. Dalam politik, misalnya, kita sering menyaksikan intrik, koalisi, dan pengkhianatan sebagai bagian dari strategi untuk mencapai tampuk kekuasaan.
Namun, apakah ambisi selalu buruk? Jawabannya tidak selalu. Sejarah mencatat banyak pemimpin besar yang membawa perubahan positif karena ambisi mereka. Tetapi, ketika ambisi tersebut berubah menjadi obsesi, inilah yang kerap kali menjadi bumerang, tidak hanya bagi individu tersebut tetapi juga bagi rakyat yang berada di bawah kepemimpinannya.
Harga yang Harus Dibayar
Perebutan tahta tidak pernah tanpa konsekuensi. Ada harga yang harus dibayar, baik secara sosial, politik, maupun moral. Contohnya, perang saudara di berbagai negara sering kali bermula dari perebutan kekuasaan yang tidak terkendali. Di sisi lain, dalam lingkup yang lebih kecil seperti organisasi atau keluarga, konflik kepentingan sering kali menciptakan perpecahan yang sulit diperbaiki. Hingga akhirnya muncul istilah dualisme.
Selain itu, perebutan kekuasaan sering kali menciptakan polarisasi. Pihak-pihak yang berkonflik mungkin melibatkan kelompok pendukung, yang akhirnya memperluas skala konflik tersebut. Dalam dunia bisnis, persaingan untuk menjadi yang terdepan sering kali mengorbankan etika dan integritas.
Jalan Menuju Perdamaian
Lalu, bagaimana seharusnya kita menyikapi fenomena ini? Perebutan kekuasaan yang sehat seharusnya diiringi oleh mekanisme yang adil dan transparan. Dalam konteks politik, pemilu yang jujur dan adil adalah solusi terbaik untuk menghindari konflik berkepanjangan.
Sementara itu, dalam dunia bisnis, etika dan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) menjadi kunci untuk mengelola persaingan secara sehat.
Selain itu, penting bagi individu untuk menyadari bahwa kekuasaan bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk menciptakan perubahan yang lebih baik. Kesadaran ini dapat menjadi dasar untuk membangun budaya kepemimpinan yang lebih inklusif dan berorientasi pada kebaikan bersama.
Bagian Dinamika Kehidupan Manusia
Berebut tahta, dalam berbagai bentuknya, adalah bagian dari dinamika kehidupan manusia. Namun, cara kita mengelola dan menyikapi fenomena ini akan menentukan apakah konflik yang muncul akan membawa kehancuran atau justru menjadi awal dari perubahan positif. Pada akhirnya, kekuasaan yang sejati adalah yang digunakan untuk melayani, bukan untuk mendominasi. *Dosen STIK-P Medan
Discussion about this post